ASIATODAY.ID, AMSTERDAM – Indonesia mendengungkan penyelamatan planet bumi melalui konservasi Mangorove atau Hutan Bakau sebagai benteng ekologi pesisir dalam upaya mitigasi dampak perubahan iklim global. Suara Indonesia itu menggema dalam Pertemuan Sherpa High-Level Panel for A Sustainable Ocean Economy (HLP) ke-5 di Amsterdam, Belanda pada tanggal 20-21 Agustus 2019.
Pertemuan Sherpa HLP ke-5 ini berjalan secara paralel dengan HLP Asia-Pacific Regional Sherpa Meeting yang berlangsung di Canberra, Australia. Pertemuan kali ini lebih banyak membahas dokumen Call to Ocean-Based Climate Action yang akan dideklarasikan oleh 14 negara anggota HLP pada UN Climate Action Summit tanggal 23 September 2019 mendatang di New York, Amerika Serikat.
Koordinator Staf Khusus Satuan Tugas Pemberantasan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115), Mas Achmad Santosa, yang hadir mewakili Menteri Kelautan dan Perikanan mengatakan, Mangorove dapat menyimpan emisi gas rumah kaca (GRK) lima kali lebih banyak dibandingkan dengan hutan daratan.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kawasan Mangrove terbesar di dunia yakni seluas 3,5 juta hektar. Dia menyampaikan bahwa saat ini rehabilitasi Mangorove telah menjadi prioritas nasional.
“Satu per empat Mangrove dunia ada di Indonesia. Rehabilitasi Mangorove merupakan prioritas Indonesia saat ini, salah satunya melalui program perhutanan sosial yang diperkenalkan oleh Presiden Joko Widodo,” terangnya, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (23/8/2019).
Mangrove memiliki potensi yang sangat besar dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim, terutama dalam menyerap emisi GRK. Sekitar 22% hutan mangrove Indonesia yang telah dilindungi di dalam kawasan konservasi diperkirakan menyimpan emisi GRK sebesar 0,82-1,09 giga ton per hektar.
Pada kesempatan itu, Indonesia juga mengajak negara-negara HLP yang memiliki Mangrove menjajaki komitmen bersama untuk melakukan restorasi dan rehabilitasi Mangorove sebagai upaya mengatasi dampak perubahan iklim.
“Enam dari empat belas negara anggota HLP yaitu Indonesia, Australia, Kenya, Meksiko, Jamaika, dan Ghana memiliki kawasan Mangrove yang luas. Apabila digabungkan, luas kawasan Mangorove yang dimiliki oleh keenam negara tersebut meliputi satu per tiga dari luas Mangorove dunia atau sekitar 5,4 juta hektar,” tutur Otta.
“Oleh karena itu, kami mengusulkan penjajakan komitmen bersama dari keenam negara HLP tersebut untuk merestorasi, merehabilitasi, dan mengelola Mangorove dengan baik. Komitmen tersebut dapat diumumkan sebagai bagian dari deklarasi Call to Ocean-Based Climate Action pada UN Climate Action Summit di New York pada 23 September 2019 mendatang,” jelasnya.
Sebagai informasi, Call to Ocean-Based Climate Action merupakan deklarasi terbuka yang mengajak negara-negara untuk mulai memperhatikan upaya pengurangan emisi dari laut. Dokumen deklarasi tersebut berisi rekomendasi aksi yang perlu dilakukan dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim yaitu konservasi ekosistem laut dan wilayah pesisir, pemanfaatan energi terbarukan lepas pantai, peningkatan konsumsi protein alternatif rendah karbon yang berumber dari laut, pengurangan emisi dari industri kelautan (seperti industri pelayaran, pariwisata, dan perikanan), dan penelitian mengenai dampak perubahan iklim terhadap ekosistem laut dan wilayah pesisir.
Call to Ocean-Based Climate Action tersebut saat ini sedang dalam proses persetujuan oleh masing-masing Kepala Negara/Pemerintahan anggota HLP.
Selain membicarakan tentang isu dampak perubahan iklim terhadap laut, Pertemuan Sherpa kali ini juga membahas perencanaan Pertemuan HLP ke-2 yang akan dihadiri oleh 14 Kepala Negara/Pemerintahan Anggota HLP. Pertemuan HLP ke-2 tersebut akan diselenggarakan di New York tanggal 23 September 2019. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post