Oleh: M. Ridha Saleh*
Oligarki adalah bentuk kekuatan ekonomi dan struktur kekuasaan politik secara efektif dipegang oleh kelompok kecil atau segelintir orang dari masyarakat. Mereka adalah orang-orang, keluarga, kelompok politik dan ekonomi yang saling berhubungan satu sama lain atas dasar kepentingan ekonomi politik, untuk mengontrol dan menentukan kebijakan publik guna memperbesar pengaruh dan keuntungan finansial mereka sendiri.
Oleh Vedi R Hadiz digambarkan sebagai sebuah struktur kekuasaan yang mengekspresikan fusi dari kekuatan atau kepentingan politikal birokrasi dan ekonomi, yang menjadi pendorong terbentuknya oligarki. Oligarki itu sendiri diekspresikan oleh keluarga, bisnis, dan politik yang dapat mengfusikan kedua sumber yang sangat kuat itu.
Oligarki bercita-cita untuk menyesuaikan dan mengamankan sumber daya yang dimiliki dan dibutuhkan, memaksimalkan keuntungan di semua bidang yang menguntungkan bagi mereka. Pada saat yang sama, mereka mau mengontrol masa kini dan masa depan masyarakat melalui kepemimpinan politik dan ekonomi dengan diberbagai cara.
Segala visi tentang akses dan partisipasi direproduksi melalui deregulasi agar sistem insuler dapat terinegrasi kedalam kompetisi dan sistim pasar global dimana posisi dan jaringan mereka sudah bercokol kuat. Boleh jadi perubahan demokrasi dari otoritarianisme yang tersenteralisasi dulu, menuju desentralisasi demokrasi sekarang, namun hubungan antara bisnis dan negara tetap sama. Mungkin begitulah kenyataan transformasi demokrasi yang terjadi saat ini di Indonesia.
Konstruksi paling mudah melihat oligarki di Indonesia salah satunya dengan melihat konsentrasi kekayaan dan kuasa sumber daya modal pada segelintir orang tertentu serta kelompok elit politik yang menguasai pos dan sumber kekuasaan dalam kelembagaan politik formal Negara termasuk partai politik yang berkuasa.
Dalam kajian ekonomi politik, Kapitalisme kroni adalah istilah untuk menyebut ekonomi yang kesuksesan bisnisnya bergantung pada hubungan dekat antara pebisnis dengan pejabat pemerintah. Kapitalisme kroni dapat diamati dari tindakan pilih-pilih saat mengeluarkan izin operasi, potongan pajak khusus, dan intervensi pemerintah lainnya atau ketika ikatan pertemanan dan keluarga yang melayani diri sendiri antara pebisnis dan pemerintah memengaruhi ekonomi dan masyarakat sampai-sampai melemahkan ekonomi dan politik yang melayani masyarakat.
Konstruksi oligarki dapat pula dilihat dari teori tersebut, bahwa kapitalisme kroni (crony capitalism) menjadi kata kunci untuk menjelaskan hubungan antara orang-orang superkaya dengan kekuasaan. Mereka menjadi tajir atau semakin tajir karena hanky-panky dengan pemegang kekuasaan politik. Para kapitalis kroni dapat menunggangi kekuasaan politik untuk memajukan kepentingan-kepentingan bisnis mereka melalui proses perizinan yang tidak terbuka. Imbalannya, si patron juga bisa memperkaya diri mereka, keluarga, dan kelompoknya, baik dengan atau tanpa turut serta berkeringat dalam aktivitas bisnis. (Arianto Sangadji, 2017)
Faisal Basri (2019) menyoroti besarnya kekayaan segilintir orang di Indonesia, terutama mereka yang dekat dengan kekuasaan, penguasaan kekayaan dalam jumlah besar mengakibatkan ketimpangan semakin melebar di Indonesia.
Menurut data The Economist yang dikutip Faisal, Indonesia berada di peringkat ke-7 dalam The Crony-capitalism index pada tahun 2016. Hal itu disebabkan karena segelintir orang di Indonesia menguasai kekayaan mencapai 3,8 persen dari total GDP pada tahun 2016 naik dari tahun 2014. Data Credit Suisse juga menunjukkan sekitar 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 45,4 persen kekayaan nasional. Sementara itu, 10 persen orang terkaya di Indonesia memiliki 74,8 persen kekayaan nasional.
Pada tahun 2019, Forbes merilis daftar orang terkaya di Indonesia meski ekonomi mengalami pelambanan, namun total harta 50 orang terkaya Indonesia tahun itu bertambah 5,6 miliar dollar AS dibanding tahun lalu, menjadi 134,6 miliar dollar AS (Rp 1.884,4 triliun).(kompas,2019).
Dari 50 orang terkaya itu kalau ditelusuri satu persatu mereka umumnya berasal dan besar dari fasilitas kekuatan Negara di zaman orde baru dan memiliki jaringan yang sangat kuat didalam political birokrasi Indonesia.
Richard Robison serta Vedi R. Hadiz di dalam bukunya “Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market” menjelaskan jika oligarki yang terjadi di Indonesia tidak hilang pasca reformasi. Justru oligarki terus bertransformasi dengan cara menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong oleh Neoliberalisme.
Setelah kejadian krisis ekonomi pada tahun 1998, oligarki bisa bertahan dan menjadi tokoh utama di dalam dunia bisnis di Indonesia. Kekuatan pemodal yang dikenal dengan oligarki mampu menyesuaikan diri pada struktur politik baru Indonesia yang lebih demokratis di era reformasi. Akibatnya, oligarki masih mempunyai peran yang sangat menentukan dalam perpolitikan Indonesia hingga saat ini.
Hubungan-hubungan struktural yang terjadi di zaman dahulu antar bisnis dan negara hingga kini malah semakin kuat, farian dan komposisi oligark semakin modern walaupun cara akaumulasinya tetap purba yaitu pengaruhi, kuasai, singkirkan dan keuntungan. Sebahagian mereka adalah pendatang baru, namun jika ditelusuri, mereka adalah bahagian dari relasi oligarki lama berdasarkan klan keluarga, politik dan bisnis. Itulah fakta dari hasil penyatuan kekuatan dan kepentingan dari political birokrasi dan bisnis yang mendominasi rezim yang berkuasa saat ini.
Oligark yang mengepung elit politik negara saat ini, adalah para oligark yang tidak bisa dilepaskan dari kroni orbe baru, walaupun mereka terlihat berbeda dalam pandangan dan posisi politik namun punya orientasi dan tujuan yang sama dalam ekonomi dan politik yaitu untuk mempertahankan kekuasaan dan membangun korporasi untuk memburu laba atau akumulasi modal.
Oligark orde baru ini sudah mapan dan memiliki sumber daya yang lebih besar baik uang maupun kekuatan politik dalam relasi kekuasaan, membuat mereka dengan mudah menjadi pemain politik baru di era reformasi. Dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah, para elit ini berlomba-lomba untuk menguasai lembaga daerah beserta sumber daya alam untuk kepentingannya.
Data kajian KPK 2017, menyebut lebih 70 persen kepala daerah, dalam pilkada, didukung pendanaan oleh korporasi berbasis sumber daya alam, terutama sektor pertambangan dan perkebunan, dengan kompensasi utama kemudahan izin atau konsesi.
Oligark di Indonesia punya sikap ekstraktif bahkan destruktif, bukan produktif. Tindakan ektraktif itu tidak hanya terjadi pada cara menguasai tanah dan sumberdaya alam, namun juga terjadi pada bidang bisnis lainya seperti disektor keuangan dan pajak. Menurut data KPK tahun 2018, eksploitasi sumber daya alam ternyata tidak sebanding dengan penerimaan negara. fenomena itu terjadi pada sektor perkebunan sawit.
Pajak dari sawit bukannya meningkat malah menjadi menurun. Ketika lahan sawit bertambah luas, detail angka potensi pajak dari sektor sawit yang menguap, karena 40 persen perusahaan sawit diduga tidak membayar pajak sesuai ketentuan. Bahkan Bank Dunia (2018) menyebut 80 persen lebih lahan sawit Indonesia bermasalah, diantara masalahnya adalah tidak menyediakan 20 persen plasma untuk rakyat dan tidak memperhatikan lingkungan hidup.
Lalu dari mana kekayaan mereka dapatkan, dan bagaimana mereka mendapatkanya. Sumber daya alam adalah salah satu sektor yang menyumbang dari kekayaan orang-orang tajir di Indonesia ini, mereka menguasai banyak konsesi disektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan termasuk sektor energy, tidak sampai disitu mereka juga mendapatkan fasilitas dari negara untuk mengembangkan turunan hingga menguasai jaringan pasar tingkat paling bawah.
Konflik Agraria
Simtom yang paling mendalam dalam konflik agaraia yaitu sangat dipengaruhi oleh struktur kekuasaan dan relasi kekuasaan, dalam relasi kekuasaan ada yang lebih tinggi dan ada yang subordinasi. Perubahan-perubahan didalam relasi tersebut teutama sangat dipengaruhi oleh relasi bisnis dan negara sebagai yang mempengaruhi situasi konflik agraria dalam masyarakat. Menurut Afiff (2005), masalah konflik agraria mencuat ketika terjadi dominasi dalam relasi-relasi penguasaan agraria menyangkut klaim penguasaan atas sumber daya tertentu.
Gelembung permukaanya adalah perampasan atas tanah. Perampasan tanah adalah upaya untuk memperoleh kontrol atas tanah dalam skala luas atau juga sumber daya alam yang lain melalui berbagai konteks dan bentuk yang mencakup modal dalam jumlah besar yang seringkali mengubah orientasi penggunaan sumberdaya ke dalam sifat-sifatnya yang ekstraktif. (Borras Jr, dkk 2012) untuk tujuan akumulasi modal.
Komnas HAM dalam lima tahun terakhir, mencatat dari pengaduan masyarakat menunjukan, bahwa luasan konflik tanah mencapai 2.713.369 hektar dan tersebar di 33 provinsi terjadi di berbagai sektor. Konflik terjadi antara lain disektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, infrastruktur, barang milik negara (BMN) dan lingkungan hidup. Banyak pihak-pihak yang terlibat didalam konflik tersebut baik lamgsung maupun tidak langsung, namun yang paling besar menurut lembaga ini secara face to fece adalah korporasi. (Komnas HAM, 2019).
Konflik agraria yang digambarkan oleh Komnas HAM diatas merupakan reproduksi sosial dari suatu model produsi kapitalisme yang berprinsip pada konsumsi, represi dan investasi bertujuan semata-mata sebagai akumulasi kapital, menciptakan relasis sosial yang timpang dan sangat kompleks didalamnya. Kompleksitas relasi sosial dalam konflik agraria tersebut tetap dikondisikan oleh reproduksi ekonomi dari sirkuit kapital.
Konflik agraria disektor perkebunan dan pertambangan di Indonesia, adalah titik landas dari akumulasi primitif dalam akumulasi kapital, preses akumulasi sebelum akumulasi dalam proses produksi yaitu untuk memperoleh tanah dan memisahkan secara paksa pekerja independen seperti petani dan masyarakat adat dengan alat produksinya. Akumulasi primitive ini fungsinya antara lain untuk menciptakan surplus pekerja yang siap dihisap dari mereka telah dirampas tanahnya.
Kekerasan dan perampasan hak atas tanah dan sumber daya alam dalam konflik agrarian merupakan bentuk dari tahap untuk memperluas ruang-ruang baru bagi akumulasi kapital melalui- dengan mengontrol negara untuk menciptakan kebijakan liberalisasi tanah dan sumberdaya alam agar muda di kuasai serta menggunakan aparat untuk menguasai tanah itulah bentuk nyata dari ekploitasi kapitalisme dalam konflik agraria.
Deplesi Ekologi
White (2009) telah mengemukakan bahwa persoalan krisis lingkungan akibat ekploitasi sumberdaya alam yang berlebihan disebabkan terutama bukan oleh kegagalan teknis tetapi kegagalan politik. Deplesi ekologi menunjuk pada produksi, pengambilan, pengurasan, pengurangan volume atau jumlah sumberdaya alam secara ekploitatif.
Dalam deplesi ekologi dikenal istilah irreversible (sifat yang tidak dapat dipulihkan kembali) dan entropy/randomness (ketidakberaturan). Kedua istilah itu mengandung makna bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh memutuskan sifat ketergantungan yang harmonis antara human-economy (digerakkan oleh perilaku manusia dan praktek usaha) dan natural-ecosystem (ekosistem natural).
Irreversible adalah kondisi di mana sumber-sumber alam yang telah diubah menjadi suatu komoditas siap jual/ barang produksi, tidak akan bisa diubah kembali ke bentuk asalnya (sumber daya alam), Sedangkan entropy/randomness sebuah kondisi ketidakberaturan lingkungan hidup diakibatkan oleh penggunaan sumber daya alam secara menyimpang dari kapasitas terpasang (installed capacity).
Deplesi ekologi merupakan bahagian dari kerusakan yang tidak dapat dipulihkan dan ketidak beraturan ekosistim alam dan pranata kehidupan manusia disebabkan oleh bekerjanya suatu sistim ekploitatif menyebabkan antara eksistensi manusia dan esensi lingkungan hidup dalam relasi sosialnya terus menerus mengalami berbenturan.
Itulah gambaran tentang parktek pemberlakuan sumber daya alam, perselingkuhan politik diatas melahirkan benturan-benturan sosial dibawah.
*Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan Lingungan Hidup
Discussion about this post