ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pada 15 November 2022 lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), dan Perdana Menteri (PM) Jepang, Fumio Kishida dan para pemimpin dunia lainnya mengumumkan peluncuran Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership, atau disingkat JETP) di Indonesia, sebuah tonggak penting kemitraan jangka panjang yang dirancang untuk menjalankan transisi sektor energi yang ambisius dan adil di Indonesia, konsisten dengan proyeksi pencapaian batas pemanasan global 1,5 derajat celcius.
JETP akan secara signifikan mempercepat transisi Indonesia menuju masa depan energi yang lebih bersih, mengurangi kumulatif emisi gas rumah kaca lebih dari 300 megaton hingga 2030 dan pengurangan jauh di atas 2 gigaton hingga 2060 dari proyeksi Indonesia saat ini.
Kemitraan ini juga mencakup target, untuk pertama kalinya, tanggal target puncak 2030 untuk emisi sektor listrik Indonesia termasuk dari sistem pembangkit listrik on-grid, off-grid, dan captive, menggeser proyeksi puncak emisi sekitar tujuh tahun lebih awal.
JETP akan fokus tidak hanya pada pengurangan emisi yang kuat, tetapi juga pada mendorong pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi, sementara melindungi mata pencaharian masyarakat dan pekerja di sektor yang terkena dampak.
Bersama Jepang, Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Iklim (SPEC) dan tim Departemen Keuangan AS telah bekerja erat dengan Indonesia dan negara-negara Kelompok Mitra Internasional (International Partners Group) selama sembilan bulan untuk mengembangkan kemitraan yang menggabungkan ambisi iklim Indonesia tingkat tinggi dengan dukungan senilai US$20 miliar dari mitra publik dan swasta, untuk mendukung target transisi energi Indonesia yang cepat dan adil.
Menteri Keuangan Janet Yellen yang menghadiri acara peluncuran JETP di Bali memuji kemitraan ini dengan mengatakan, Departemen Keuangan bangga bekerja dengan para mitra publik dan swasta untuk menyusun paket keuangan besar bersejarah ini dengan fokus membantu transisi salah satu negara dengan emisi tertinggi di dunia menuju ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
“Paket keuangan US$20 miliar ini adalah bukti luasnya kemitraan ini. Dana ini dirancang untuk merespons upaya Indonesia saat ini dan di masa depan untuk menghilangkan hambatan dalam berinvestasi di bidang energi bersih serta mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap,” kata Yellen.
Utusan Khusus Presiden untuk Iklim John Kerry memuji komitmen Indonesia dengan target ambisiusnya, dan mengatakan, “Kemitraan luar biasa ini ditujukan untuk memulai pertumbuhan energi terbarukan yang tepat dalam dekade ini dan mengurangi emisi batu bara, di saat Indonesia menggandakan laju energi terbarukan. Kami berkomitmen kuat untuk bekerja bahu-membahu dengan para mitra kami di Indonesia dalam mempercepat respons terhadap krisis iklim.”
Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Departemen Keuangan AS, bekerja sama dengan Departemen Keuangan Jepang, akan terus bekerja secara aktif dengan Indonesia dan mitra publik dan swasta untuk mendukung pengembangan rencana investasi komprehensif Indonesia selama enam bulan ke depan guna menentukan arah implementasi kemitraan selama 3-5 tahun ke depan.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Republik Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah Indonesia bakal memimpin persiapan rencana aksi investasi dalam skema pendanaan ini.
“Kami akan memaksimalkan platform yang dikelola oleh PT SMI (Sarana Multi Infrastruktur),” ujarnya dalam konferensi pers di Bali International Convention Center (BICC), Selasa (15/11) lalu.
Model skema pendanaan JETP pertama kali diinisiasi pada pertemuan COP26 di Glasgow tahun 2021 lalu. Dalam perhelatan itu, Afrika Selatan dan International Partners Group (IPG) yang terdiri atas Prancis, Jerman, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa mengumumkan skema pendanaan JETP jangka panjang sebesar US$8,5 miliar.
Indonesia menjadi negara kedua yang telah meluncurkan, skema pendanaan ini setelah Afrika Selatan.
Climate Counselor to The Secretary at US Department of The Teasury John Morton mengatakan, mobilisasi dana US$20 miliar akan berasal dari sektor sektor publik dan swasta dengan komposisi masing-masing US$10 miliar.
“Detailnya seperti apa akan diketahui setelah rencana investasinya selesai disusun,” tuturnya.
Inggris sudah menegaskan kesiapannya untuk mendukung program JETP Indonesia, termasuk di antaranya melalui World Bank Guarantee senilai US$1 miliar. Fasilitas tersebut akan memungkinkan Indonesia untuk meningkatkan tingkat pinjaman berdasarkan ketentuan World Bank hingga US$1 miliar.
Mampukah JETP Mentransformasi Ketenagalistrikan Indonesia?
Think tank energi global, EMBER, menyebutkan bahwa pembatasan emisi sebesar 290 million tonnes (Mt) pada tahun 2030 dalam kesepakatan Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP) bisa mendorong Indonesia mencapai target net zero emission (NZE) di semua sektor pada tahun 2060.
Namun apakah ini cukup untuk memastikan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dan mentransformasi sektor ketenagalistrikan Indonesia agar selaras dengan target iklim global 1,5 C?
“JETP menetapkan batas emisi sebesar 290 Mt pada tahun 2030, tetapi persyaratan yang lebih spesifik diperlukan untuk mempercepat pensiun dini PLTU batubara dan memberi ruang untuk energi terbarukan,” ungkap EMBER dalam analisanya tentang JETP Indonesia, yang diterbitkan, Kamis (26/1) lalu.
Kesepakatan JETP senilai US$20 miliar ini, yang lahir dari forum G20 di Bali akhir tahun lalu, akan berperan penting dalam mendanai transisi energi Indonesia serta mencapai net zero emission (NZE).
Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Indonesia juga harus membatasi emisi sektor ketenagalistrikan sebesar 290 Mt pada tahun 2030, sebagaimana tertuang dalam laporan IEA terkini, agar selaras dengan target Indonesia untuk mencapai NZE di semua sektor pada tahun 2060 mendatang.
Kesepakatan JETP memungkinkan pembangunan PLTU yang sudah dalam tahap konstruksi untuk diselesaikan, sehingga kapasitas PLTU akan tetap meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Selain itu, pembatasan emisi pada sektor ketenagalistrikan belum selaras dengan target iklim global 1,5 C.
Kesepakatan JETP juga tidak mensyaratkan pembatasan spesifik untuk PLTU captive. Indonesia hanya membatasi pengembangan PLTU captive sesuai dengan Peraturan Presiden No.112 tahun 2022. Namun dengan Perpres itu, Pemerintah Indonesia tetap memperbolehkan pembangunan PLTU captive, asalkan terintegrasi dengan industri atau Proyek Strategis Nasional (PSN).
Saat ini, terdapat PLTU captive berkapasitas 5 giga watt (GW) yang beroperasi di Indonesia dan 4 GW lagi dalam tahap konstruksi. Analisa EMBER ini menemukan bahwa PLTU captive tidak termasuk dalam batasan 290 Mt dan juga tidak dibatasi secara spesifik dalam kesepakatan JETP.
“Artinya, Indonesia tidak diwajibkan untuk menghentikan PLTU yang sedang dibangun, baik di sektor ketenagalistrikan maupun pembangkit captive. Dengan kata lain, JETP tetap membuka celah untuk berkembangnya sumber energi dengan emisi tertinggi, yakni batubara, dalam beberapa tahun ke depan,” tulis EMBER dalam analisa tersebut.
Emisi sektor ketenagalistrikan dalam skenario JETP (IEA APS) dan skenario 1,5C (IEA NZE) (Mt CO2). Sektor ketenagalistrikan Indonesia harus mencapai net zero pada tahun 2040 agar kompatibel dengan 1,5 C.
Rekomendasi
Untuk menempatkan Indonesia pada jalur iklim 1,5 C, kapasitas produksi PLTU harus dikurangi secara substansial pada tahun 2030. Caranya, dengan menutup beberapa PLTU yang beroperasi, mengurangi produksi listrik pada PLTU secara signifikan, atau keduanya. Jumlah PLTU juga harus dikurangi hingga 10 persen dan produksi listrik dari PLTU perlu diturunkan sebesar 70 persen, dibandingkan skenario JETP, pada tahun 2030.
Selain itu, porsi energi terbarukan perlu ditingkatkan secara signifikan untuk menggantikan batubara, sesuai jalur iklim 1,5 C. Menurut IEA, pangsa energi terbarukan harus mencapai sekitar 60 persen dari total pembangkitan pada tahun 2030. Ini lebih tinggi dari persyaratan JETP dan skenario IEA berdasarkan “komitmen pemerintah” yang hanya menargetkan 35 persen.
“Kesepakatan JETP perlu dirinci lebih lanjut untuk memberikan beberapa pilihan bagi Indonesia. Kesepakatan ini juga harus menyediakan opsi untuk pemensiunan dini PLTU dan penurunan faktor kapasitas operasional PLTU. Perlu juga adanya target untuk mempercepat penggunaan energi terbarukan, untuk memperlihatkan bahwa dukungan internasional berperan penting dalam mendorong Indonesia ke jalur transisi yang sesuai target iklim 1,5 C,” ujar Analis Ketenagalistrikan Asia dari EMBER, Achmed Shahram Edianto.
Dengan JETP, Indonesia perlu memanfaatkan momentum dan dukungan finansial ini untuk mendukung rekonfigurasi ulang jalur transisi energi agar selaras dengan target iklim 1,5 C.
Dalam analisa tersebut, EMBER memberi tiga rekomendasi untuk meningkatkan JETP Indonesia guna mencapai transisi energi dan mitigasi iklim.
Pertama, batasi pembangunan PLTU Baru. PLTU yang ada harus dipensiunkan, atau jam operasional rata-ratanya diturunkan. Hal ini untuk menyeimbangkan PLTU batubara baru sebesar 7 GW, yang akan beroperasi tahun 2030.
Kedua, tangani PLTU captive. Emisi PLTU captive, yang dapat mencapai 50 Mt CO2 pada tahun 2030, harus dibatasi dan dirinci sebagai bagian dari persyaratan JETP.
Ketiga, manfaatkan dukungan pendanaan. JETP harus dimobilisasi tidak hanya untuk mencapai target Pemerintah, namun juga untuk menyelaraskan Indonesia dengan jalur iklim global 1,5 C. (AT Network)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post