ASIATODAY.ID, JAKARTA – Transformasi ekonomi dunia kini tengah bergerak ke arah pertumbuhan ekonomi hijau atau green growth. Paradigma ini menjadi referensi dan portofolio bisnis bagi kalangan investor dan telah menjadi standar di negara maju.
Dari 17 poin yang terdapat dalam Sustainable Development Goals (SDG) hingga Paris Agreement dan World Economic Forum, semua menekankan pentingnya peran dunia usaha membantu pemerintah menyejahterakan masyarakatnya, sekaligus melestarikan semua modal alam di dalamnya.
Negara-negara maju sudah mulai menerapkan aturan yang ketat soal pembangunan ekonomi yang beriringan dengan pelestarian alam ini. Bahkan aturan itu juga berlaku pada produk-produk yang diimpor dari negara luar. Indonesia, misalnya, saat ini dihambat negara-negara Eropa untuk memasukkan produk CPO dengan alasan tadi.
Indonesia memang dikenal sebagai paru-paru dunia. Justru itulah yang membuat peluang untuk menggaet investor dari industri yang sangat memperhatikan lingkungan. Dalam investasi, selain faktor keamanan dan keuntungan yang juga penting diperhatikan adalah keberlanjutan investasi dan kehidupan.
Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong, Indonesia memiliki peluang yang sangat baik dalam investasi hijau, baik itu peluang nasional maupun peluang internasional. Menurut kepala BKPM selama 5 tahun terakhir (2010-2014) total realisasi investasi hijau sudah sekitar 30,3 persen dari total nilai investasi, yaitu sebesar Rp486 triliun dibanding total nilai investasi Rp1.600 triliun.
Dari realisasi tersebut, sebanyak USD26,8 miliar merupakan PMA dan Rp139,1 triliun merupakan PMDN. Selain itu, BKPM menargetkan investasi hijau akan tumbuh rata-rata 20 persen setiap tahun, hingga diperkirakan pada 2019 investasi hijau PMA mencapai USD56 milyar dan PMDN Rp448 triliun. Sebuah angka yang menggiurkan dan fantastis untuk investasi bukan?
Ada beberapa sektor yang bisa dilirik oleh investor yaitu pertanian, kehutanan, perikanan, energi geotermal, manufaktur yang ramah lingkungan, energi baru terbarukan, dan pengelolaan.
Namun peluang dan potensi investasi hijau ini juga mempunyai beberapa tantangan yaitu mahalnya investasi. Investasi hijau menjadi mahal karena beberapa aspek yaitu industri utama dan teknologi, keterbatasan sumber daya manusia, serta pengembangan insentif industri hijau. Insentif industri hijau di Indonesia masih mahal sehingga susah bersaing dengan produk konvensional lain.
Menurut hitungan, di sektor perkebunan sawit, misalnya, untuk melakukan peremajaan (replanting) saja membutuhkan investasi sekitar Rp50 juta per hektar. Jika kita hitung luas perkebunan sawit di Riau saja sebesar 400 ribu hektar, sudah dapat dipastikan berapa besarnya investasi yang dibutuhkan.
Sebetulnya konsepsi investasi hijau juga sudah dikembangkan bagi investor perseorangan. Terkait dengan investasi hijau ini misalnya, di Bursa Efek Indonesia ada Indeks Sri-Kehati yang merupakan indeks perusahaan yang menerapkan teknologi yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Makna SRI sendiri merupakan singkatan dari sustainable responsible investment.
Indeks ini merupakan gabungan harga saham 25 emiten (perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia) yang dianggap memenuhi tiga penilaian dari Yayasan Kehati.
Pertama, bisnis inti perusahaan tidak tersangkut alkohol, senjata, pestisida, tembakau, pornografi, perjudian, pertambangan dan rekayasa genetik.
Kedua, penilaian kinerja keuangan dengan nilai kapitalisasi pasar minimal Rp1 triliun, total aset tidak kurang dari Rp1 triliun, price earning ratio (P/E ratio) harus positif, kepemilikan saham publik di atas 10% dan tidak membukukan kerugian.
Ketiga, penilaian aspek fundamental perusahaan yang di antaranya mencakup sikap perusahaan ke lingkungan, perlakuan ke masyarakat lokal, tata kelola SDM dan penegakan HAM.
Hasil penilaian tersebut dievaluasi dua kali setahun pada April dan Oktober, setelah itu dipublikasikan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).
Selain itu, ada pula Indeks Investasi Hijau perbankan Indonesia hasil kajian International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF). Indeks yang dipublikasikan Agustus 2018 silam ini memetakan peringkat 12 bank nasional dan internasional di Indonesia berdasarkan komitmen mereka melakukan investasi hijau.
Menurut informasi sejak 2015 lalu pemerintah berusaha keras untuk mendatangkan investor yang berorientasi pada lingkungan khususnya di bidang energi, perkebunan, pertanian, dan pengelolaan sumber daya alam lainnya.
Tantangan terbesar dalam pengembangan investasi hijau adalah perubahan iklim dan kerusakan alam yang kini terus terjadi. Menurut hitungan investasi hijau merupakan peluang besar karena memiliki potensi hingga 100 miliar dolar AS dari sebelumnya 27 miliar dolar AS.
Sementara BKPM sendiri berkomitmen mendukung perkembangan investasi hijau dengan target pertumbuhan 20 persen pertahun. Menurut data BPKM sepanjang lima tahun terakhir (2010-2014), total realisasi investasi hijau mencapai sekitar 30,3 persen dari total nilai investasi, yaitu sebesar Rp486 triliun dibanding total nilai investasi Rp1.600 triliun. Dari realisasi tersebut, sebanyak 26,8 miliar dolar AS merupakan penanaman modal asing (PMA) dan Rpl39,l triliun merupakan penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Telah Berjalan
Menurut Ketua Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (YIDH) Fitrian Ardiansyah, ekonomi dapat tumbuh bila ada investasi yang sebagian besar berasal dari swasta. Namun biasanya, investasi yang berkembang dan telah berjalan, seperti di Indonesia, merupakan investasi konvensional atau business as usual.
Bukan investasi hijau yang merupakan usaha berkelanjutan.
Untuk mendorong berkembangnya investasi hijau, pemerintah perlu menyusun rencana pertumbuhan hijau atau green growth plan. Ini merupakan strategi pembangunan yang menyeimbangkan antara produksi dengan proteksi lingkungan serta meningkatkan keterlibatan petani dan masyarakat.
“Jadi pertumbuhan ekonomi hijau adalah memastikan ekonomi tetap tumbuh, tapi dampak dan daya dukung lingkungannya minimal tidak jatuh atau tetap dapat dipertahankan (sustain),” kata Fitrian.
Peluang investasi hijau di Indonesia masih sangat besar. Eka Wijayanti, Program Manajer Senior Lanskap YIDH, menggambarkan di sektor perkebunan sawit misalnya, untuk melakukan peremajaan (replanting) saja membutuhkan investasi sekitar Rp 50 juta per hektar.
“Luas replanting di Riau sekitar 400 ribu hektar. Itu saja sudah berapa? Itu baru dari sawit, belum yang lain,” kata Eka.
Tiga Konsep Investasi Hijau YIDH selama ini menjadi katalisator dalam menyebarkan bisnis model investasi hijau di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, di antaranya konsep Green Growth Plan (GGP), Produksi, Proteksi, dan Inklusi (PPI), dan Verified Sourcing Area (VSA).
Pertama, konsep GGP. YIDH mendampingi pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam menyusun ini. Ketika pemerintah membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) misalnya, YIDH memberikan pilihan apa saja yang berkaitan dengan konsep ekonomi hijau. Bila daerah itu fokus ke komoditas sawit, YIDH akan memandu pengembangan sawit berkelanjutan yang dijalankan sesuai kebijakan pemerintah, seperti ISPO, replanting, dan kaidah investasi hijau. Begitu pula untuk komoditas lainnya.
Namun, tingkat pertumbuhan ekonomi yang diinginkan pemerintah daerah tentu tidak akan setinggi ketika menggunakan pola investasi konvensional atau business as usual. Dengan menggunakan konsep ekonomi hijau, pertumbuhan akan naik bertahap seiring perbaikan lingkungan dan sosial. Yang jelas, dampak lingkungan daerah akan lebih minimal, seperti kebakaran atau banjir maupun masalah kesehatan.
Kedua, konsep Produksi, Proteksi, dan Inklusi (PPI). Dalam proteksi lingkungan, investasi hijau menjalankan perlindungan pada lingkungan sekitar. Di antaranya adalah proteksi terhadap keanekaragaman hayati, rehabilitasi terhadap hutan dan gambut terdegradasi, serta proteksi dari kegiatan manusia yang dapat merugikan, seperti pembalak liar. Jika hutan dijaga, termasuk kualitas air, maka akan menunjang kepentingan investasi itu sendiri. Bila hutan dan air tak dijaga, keberlangsungan produksi bisa tersendat. Begitu juga unsur hara bisa hilang serta kuantitas dan kualitas air menyusut, yang pada akhirnya akan berdampak pada produksi. Kemudian peningkatan produktivitas dan legalitas komoditas yang diusahakan, agar tidak ada lagi kebutuhan pembukaan lahan baru.
Untuk ini perlu program pendampingan peningkatan produktivitas petani swadaya masyarakat sekitar, maupun memastikan produktivitas perusahaan pada posisi terbaik dan berkelanjutan. Lainnya adalah Inklusi, di mana masyarakat dan pemerintah daerah diajak meninggalkan cara penghidupan yang belum berkelanjutan, dan didampingi untuk menjalankan yang berkelanjutan, sesuai konsep investasi hijau.
Ketiga, konsep Daerah Penghasil Terpercaya (Verified Sourcing Area/VSA). Ini adalah sebuah model pengelolaan sumber daya yang menyatukan wilayah produksi, aktor rantai pasok, seperti pengepul, dan pembeli akhir yang berkomitmen untuk menciptakan sumber daya lestari. Dalam model VSA, setiap pembeli, pedagang, pembeli akhir, atau pihak ketiga yang berminat pada komoditas ini, dapat dengan mudah memastikan status komoditas tersebut memenuhi standar dan terverifikasi sesuai prinsip ekonomi berkelanjutan.
Kerja Sama dengan Swasta
Salah satu perusahaan yang telah mengembangkan konsep investasi hijau adalah PT Bumitama Gunajaya Agro. PT Bumitama Gunajaya Agro adalah (BGA Group) adalah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan pabrik kelapa sawit. Saat ini BGA Group beroperasi di tiga provinsi, yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Riau.
Unit usaha BGA Group terdiri dari 58 perkebunan kelapa sawit (Estates) seluas 185.165 hektare (planted area) dan 14 pabrik kelapa sawit (CPO mills) dengan total kapasitas pengolahan 5,67 juta ton per tahun, yang didukung tenaga kerja sekitar 32 ribu orang.
Group Head of Coorporate Secretarial Services and CSR PT Bumitama Gunajaya Agro, Lim Sian Choo, menjelaskan investasi hijau ini penting untuk mendukung keberlangsungan bisnis dan menjaga lingkungan tetap lestari. Memang sejatinya konsep ini bukan hal baru di negara lain. Malaysia misalnya, sudah memiliki konsep Green Building dan Green Economic sejak tahun 1990-an.
“Bumitama juga terus mendorong penerapan ekonomi hijau di Indonesia,” katanya.
Khusus di Indonesia, menurut Choo, perlu lebih gencar lagi mengenalkan konsep investasi hijau ini ke semua pihak. Berbicara dengan komunitas-komunitas, perusahaan swasta, dan lingkungan sosial masyarakat lainnya, termasuk juga ke perbankan, agar mereka mau membiayai program-program terkait investasi hijau.
“Ini menjadi tantangan terbesar menjelaskan konsep investasi hijau agar lebih banyak orang paham,” katanya.
Dengan melibatkan banyak pihak, termasuk juga lembaga pendidikan seperti universitas, untuk lebih banyak melakukan riset dan membuat konsep investasi hijau ini menjadi aplikatif. Semakin banyak pihak yang dilibatkan dan bersinergi akan semakin baik gaungnya.
Harapannya, lingkungan akan terus terjaga kendati pihak pelopor, seperti perusahaan, sudah tak ada lagi melakukan aktivitas perkebunan, tambang atau lainnya. Ini adalah upaya untuk melindungi lingkungan dan hutan agar generasi selanjutnya masih dapat melihat dan menikmati kekayaan alam lingkungan dan hutan kita. (AT Network)
Discussion about this post