ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia berkomitmen bersama dengan seluruh negara di dunia untuk menghadapi dampak perubahan iklim.
Untuk mendukung komitmen tersebut, pemerintah memperkenalkan Pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Dalam Pertemuan COP26 di Glasgow, Presiden telah menyampaikan komitmen Indonesia untuk menjadi warga dunia untuk menanggulangi climate change. Komitmen ini sudah dari presiden ke presiden karena dari Kyoto Protocol sampai dengan sekarang,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Kick Off Sosialisasi UU HPP, Jumat (19/11/2021).
Pajak karbon akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan roadmap dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC), serta kesiapan sektor dan kondisi ekonomi.
Lebih lanjut, Menkeu mengatakan pemerintah membutuhkan instrumen di dalam melaksanakan komitmen tersebut melalui perdagangan karbon (carbon trading).
Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK).
Kebijakan tersebut mengatur penyelenggaraan perdagangan karbon, pungutan atas emisi karbon, pembayaran berbasis kinerja atas penurunan emisi karbon.
“Kita akan meng-introduce cap and trade yaitu sektor tertentu, seperti PLTU batubara, diberikan cap dulu. Bahwa Anda boleh mengeluarkan atau mengemisikan CO2 level tertentu. Ada cap-nya,” ujar Menkeu.
Di dalam skema cap and trade, entitas yang mengemisi lebih dari cap diharuskan membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE) dari entitas yang mengemisi di bawah cap atau membeli Sertifikat Penurunan Emisi (SPE atau carbon offset).
“Kita sekarang sedang membahas bagaimana mekanisme carbon trade ini dilakukan. Bursanya adalah di Bursa Efek Indonesia karena nanti yang diperdagangkan adalah sertifikat izin dan sertifikat penurunan karbon,” kata Menkeu.
Menkeu menyebut tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan minimal tarif Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
“Kalau di pasaran dunia harganya itu sudah di atas USD40, bahkan Kanada akan menaikkan mencapai di atas USD125 sampai 2030 nanti,” ujar Menkeu.
Di sisi lain, Indonesia perlu memperhatikan harga karbon di dunia yang relatif tidak seragam.
Menkeu mengungkapkan Indonesia harus melindungi carbon market agar tidak dimanfaatkan oleh negara maju penghasil emisi karbon.
“Indonesia harus memenuhi kuota penurunan karbon sebelum kita bisa menjualnya. Apalagi kalau harganya memang murah, pasti dari luar negara yang harga karbonnya tinggi, dia mau beli karbonnya di Indonesia yang dianggap murah. Ini adalah salah satu yang nanti kita akan makin matangkan bersama-sama,” kata Menkeu.
Susun Aksi Nasional Mitigasi Perubahan Iklim
Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bersama Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) mulai menyusun aksi mitigasi perubahan iklim.
Menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, wilayah Indonesia begitu rentan terhadap dampak perubahan iklim. Indonesia yang terdiri dari banyak pulau-pulau kecil menjadi salah satu sebab kerentanan tersebut.
“Kondisi ini membutuhkan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim untuk mengurangi dampak bencana hidrometeorologi dan menurunkan emisi gas rumah kaca,” kata Dwikorita melalui keterangan, Minggu (21/11/2021).
Dia melihat bahwa dampak perubahan iklim sudah terjadi, terutama peningkatan cuaca ekstrem dan kejadian iklim ekstrem, kenaikan suhu udara, berkurangnya tutupan salju di puncak Gunung Jayawijaya di Papua dan naiknya permukaan air laut.
Untuk memitigasi hal-hal tersebut, Dwikorita menyampaikan pihaknya tengah menyusun Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) bersama Kementerian PPN/Bappenas.
Rencana aksi tersebut sebagai respons pula terhadap situasi iklim global yang dinilai terus mengalami penurunan kualitas.
Berdasarkan data Intergovernmental Panel on Climate Change” atau IPCC menunjukkan bahwa suhu bumi saat ini telah mencapai level yang belum pernah terjadi sebelumnya setidaknya dalam 2000 tahun terakhir.
“Suhu bumi juga diperkirakan akan mencapai atau melampaui batas 1.5C di atas level pra-industri, antara tahun 2021 dan 2040. Di bawah skenario emisi tinggi, ambang batas 1.5C ini akan dicapai dalam waktu yang lebih singkat lagi,” terang Dwikorita.
Adapun rencana aksi tersebut mengacu pada kerangka Southeast Asia Coordinated Regional Climate Downscaling Experiment atau CORDEX SEA yang juga telah menjadi acuan bagi rencana aksi Nasional.
CORDEX sendiri merupakan kegiatan di bawah Program Penelitian Iklim Dunia (WCRP) dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).
“Untuk mendukung rencana aksi nasional dan rencana aksi regional adaptasi perubahan iklim dan tujuan sektoral lainnya, diperlukan kerjasama yang solid dengan anggota CORDEX SEA untuk menurunkan skala data iklim masa depan dari skala regional menjadi data proyeksi iklim resolusi tinggi,” imbuhnya. (ATN)
Discussion about this post