Oleh: Darynaufal Mulyaman & William Sulistyo*
Virus Korona atau yang dikenal juga sebagai COVID-19 telah menyebar ke seluruh dunia dengan begitu cepat. Virus ini juga telah menembus sistem kesehatan dan ekonomi negara-negara di dunia serta memakan korban lebih dari 200.000 jiwa. Data per tanggal 30 Juni 2020, Amerika Serikat (AS) telah memuncaki posisi teratas sebagai negara yang memiliki kasus COVID-19 terbanyak di dunia. Banyaknya jumlah tersebut membuat AS memiliki rasio angkat kematian yang tinggi, bahkan Amerika Serika juga telah dimasukkan ke dalam daftar larangan masuk Zona Eropa oleh Uni Eropa.
Demikian pula, Tiongkok memiliki angka kematian lebih dari 5% yang terdiri dari 85.227 kasus positif dan 4.648 korban meninggal, sedangkan Italia telah menjadi negara yang memiliki angka kematian terbesar, lebih dari 13% melalui pebandingan 240.436 kasus positif dan 34.744 korban meninggal.
Sebaliknya, Korea Selatan sejauh ini telah mencatat 282 korban jiwa dari 12.800 kasus positif. Artinya, Negeri ‘Ginseng’ tersebut hanya memiliki angka kematian sekitar 2% – yang juga merupakan salah satu yang terendah di dunia. Sementara itu, di Indonesia per 30 Juni 2020, terdapat 55.092 kasus yang terkonfirmasi positif yang diikuti dengan korban meninggal sebanyak 2.805 pasien.
Melalui data diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat kematian di Indonesia temasuk salah satu yang masih tinggi di Asia, bahkan tertinggi di ASEAN. Terdapat perbedaan yang sangat kontras dalam tingkat kematian akibat COVID-19 antara Korea Selatan dan Indonesia. Berdasarkan analisis data sederhana diatas, dapat digambarkan bagaimana kasus-kasus positif dan tingkat kematian di Indonesia akan terus meningkat dan data akan selalu diperbarui.
Hal tersebut membawa kita ke pertanyaan, apa yang menyebabkan Korea Selatan memiliki angka kematian yang relatif rendah dibandingan dengan Indonesia? Bagaimana Korea Selatan dapat berhasil meminimalkan angka kematian akibat COVID-19?
Jawabannya terletak pada intervensi yang dilakukan Korea Selatan ketika awal Pandemik COVID-19. Menteri luar negeri Korea Selatan, Kang Kyung-Hwa menginisiasikan bahwa Pemerintah Korea Selatan telah menyusun strategi preventif seperti permeriksaan kesehatan awal yang terdiri dari tiga tingkat yang berbeda di setiap bandar udara dan pintu masuk pelabuhan internasional; 1) pemisahan yang berdasarkan titik keberangkatan pada saat kedatangan, 2) pelaksanaan survey karantina kesehatan, serta 3) melakukan penelusuran dan verifikasi berdasarkan telepon sebagai upaya karantina dan pemantauan yang dilakukan pada titik-titik kedatangan.
Langkah-langkah ini diambil setelah adanya temuaan kasus COVID-19 di Daegu dengan jumlah yang besar. Tes Swab secara massal yang dilakukan oleh pejabat Korea Selatan terbukti menjadi kunci keberhasilan Korea Selatan dalam membenahi pandemi COVID-19 tanpa menerapkan kebijakan karantina wilayah. Selain itu, dukungan masyarakat Korea Selatan juga menjadi salah satu alasan Korea Selatan dapat mengendalikan penyebaran COVID-19. Hal ini terbukti dengan adanya partisipasi warga Korea Selatan secara aktif dalam mengikuti himbauan pemerintah dalam menjaga kebersihan pribadi termasuk menggunakan masker di tempat umum. Intervensi dini dari pemerintah yang diikuti dengan sikap masyarakat yang disiplin telah menjadi kombinasi yang sempurna dalam menangani COVID-19 serta membuat Korea Selatan sebagai salah satu negara yang paling sukses dalam mengatasi pandemi ini.
Tidak seperti Korea Selatan, Indonesia tampaknya ketinggalan dalam mengambil tindakan terhadap pandemi COVID-19.
Iwan Ariawan, seorang dosen biostatistik dari Universitas Indonesia, mengutarakan bahwa sistem kesehatan Indonesia tidak dapat mengatasi pandemi ini. Pendapat ini juga selaras dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengakui bahwa, “Indonesia membutuhkan aturan yang lebih ketat dalam mengatasi COVID-19.”
Penyataan-pernyataan ini, menurut Ben Bland dari Lowy Institute, mengungkapkan bahwa terdapat kelemahan pendekatan yang bersifat pragmatis di tubuh kabinet Presiden Jokowi dalam politik dan dialog pembuatan kebijakan yang strategis mengenai pandemi COVID-19. Maka dari itu, hal tersebut memberikan kesan bahwa Indonesia tidak dapat memperhitungkan skala pandemi dan cara menangani virus ini secara tepat. Hal ini yang mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki tingkat kefatalan yang tinggi dalam kasus COVID-19 di ASEAN.
Kemudian, secara lebih spesifik, tampak adanya kurang koordinasi antara lembaga-lembaga pemerintahan Indonesia. Hal tergambar dengan adanya perrtenangan kebijakan pembatasan transportasi umum yang keluarkan oleh kementerian dan permerintah daerah. Kementerian Perhubungan, misalnya, dalam salah satu isi kebijakannya telah mengizinkan pengemudi ojek daring untuk megangkut penumpang, namun berbeda dengan pemerintah Propinsi DKI Jakarta yang hanya mengizinkan pengemudi ojek daring untuk melakukan pengiriman barang.
Ketika keduanya dihadapkan oleh kebijakan yang kontras tersebut, masing-masing dari mereka seakan bersikap cuci tangan dan saling menunjuk. Dari contoh ini, menunjukkan bahwa terdapat konflik kepentingan di antara pembuat kebijakan bahkan ketika berada di tengah pandemi. Konflik kepentingan ini tentu saja tidak membantu negara dalam memerangi COVID-19.
Keadaan ini diperkeruh dengan adanya tidak kemerataan dalam pengaksesan uji tes COVID-19 di tengah penduduk miskin yang diikuti dengan minimnya laboratorium yang mampu memproses hasil swab tes ini menciptakan masyarakat Indonesia yang tersebar di seluruh kepulaun Indonesia tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang berkualitas. Orang Indonesia juga tampaknya memiliki sikap kurang disiplin dalam mematuhi kebijakan pembatasan sosial. Namun, hal ini juga dapat terjadi karena aparat selaku perwakilan di tengah masyarakat tidak tegas dalam menindak atau memberi hukuman ketika terjadi pelanggaran.
Oleh karena itu, jika saja Indonesia dapat mengikuti langkah Korea Selatan dalam mengendalikan penyebaran COVID-19 pada masa-masa awal pandemi ini, kemungkinan Indonesia telah banyak menyelamatkan banyak nyawa dan berhasil melandaikan kurva infeksi.
Pembuatan kebijkan yang cepat dan terukur, bersinergi antara kementerian/lembaga dengan pemerintah daerah dengan mengurangi konflik kepentingan, memperluas askes fasilitas kesehatan yang berkualitas serta memberlakukan pembatasan perjalanan yang lebih ketat dengan mengawasi pergerakan orang secara saksama merupakan beberapa pelajaran dari Korea Selatan yang dapat diambil.
Indonesia perlu merumuskan kebijakan yang terukur dimana setiap tingkat pemerintah harus memiliki pandangan dan suara yang sama. Tidak hanya memiliki langkah yang keras, tetapi kebijakan tersebut juga transparan dalam hal memberi fakta tentang pandemi sehingga masyarakat Indonesia dalam memahami betul bahaya COVID-19.
Pemerintah Indonesia juga perlu menekankan pentingnya melaksanakan kebersihan pribadi dan menjaga jarak kontak fisik, serta dengan segera memberlakukan larangan perjalanan antar daerah yang berkesinambungan. Perlu diingat, bahwa Indonesia memiliki jumlah penduduk besar, sehingga perlu memastikan kebijakan yang dibuat mampu mengkomodasi setiap lapisan masyarakat Indonesia. Pengujian tes massal dengan teknik swab dan penyediaan akses kesehatan yang berkualitas harus tersedia dan setara bagi semua orang.
*Darynaufal Mulyaman (Dosen Muda Prodi Ilmu Hubungan Internasional – FISIPOL UKI). Essay opini ini dibuat bersama William Sulistyo, sebagai data supporter. Dia adalah mahasiswa senior Prodi Ilmu Hubungan Internasional – FISIPOL UKI
Discussion about this post