ASIATODAY.ID, JAKARTA – Industri pariwisata Indonesia terkena imbas akibat gejolak di Papua dan Papua Barat beberapa hari terakhir. Sejumlah agen perjalanan wisata yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata (Asita) Papua, mengkhawatirkan dampak itu akan berkepanjangan.
Menurut Ketua DPD Asita Papua Iwanta Perangin-Angin, banyak wisatawan memilih untuk menunda perjalanannya ke Papua dan Papua Barat.
“Banyak wisatawan yang hendak berkunjung menyampaikan kepada kami bahwa mereka hanya menunda kunjungannya. Tapi biasanya, itu adalah cara halus mereka untuk membatalkan atau mengalihkan kunjungan wisatanya ke tempat lain,” jelas Iwanta saat dihubungi Jumat (23/8/2019).
Dengan kondisi itu, tentu membuat agen perjalanan wisata di Papua semakin terpukul. Pasalnya, mereka juga harus menanggung kerugian akibat terhentinya aktivitas pariwisata di Papua.
Menurut Iwanta, kerugian yang harus ditanggung oleh agen perjalanan wisata di Papua mencapai Rp300 juta. Kerugian paling besar dirasakan oleh mereka yang menawarkan paket wisata ke sejumlah destinasi wisata unggulan di Papua.
“Setiap agen perjalanan wisata itu seharusnya bisa menjual sampai dengan 20 paket wisata per hari, harga satu paket biasanya sekitar Rp7 juta,” papar Iwanta.
Selain adanya gejolak, penurunan kunjungan wisatawan ke Papua juga terjadi karena masa puncak kunjungan sudah berakhir pada pekan lalu. Selain itu, Festival Lembah Baliem yang menjadi salah satu atraksi wisata unggulan di Papua juga sudah selesai pada 7-9 Agustus lalu.
Kunjungan wisatawan ke Papua secara keseluruhan masih didominasi oleh kunjungan wisatawan mancanegara yang mencapai 80% dari total kunjungan.
“Berbeda dengan Papua Barat yang seimbang persentasenya antara wisatawan mancanegara dan domestik karena kepopuleran destinasi wisata Raja Ampat di dalam negeri, mungkin ya,” terang Iwanta.
Sementara itu, pengusaha hotel di Papua dan Papua Barat harus menelan pil pahit akibat gejolak yang terjadi di dua provinsi tersebut. Pasalnya, tingkat keterisian kamar atau okupansi anjlok hingga 30%.
Anggota Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Papua Barat Adri Syawal mengaku, anjloknya okupansi tersebut menyusul adanya pembatalan sejumlah agenda instansi maupun perusahaan setempat yang biasa digelar di hotel.
“Okupansi hotel-hotel yang ada di tanah Papua turun dari rata-rata 70% menjadi 30%,” terangnya.
Event dan acara-acara yang digelar oleh instansi atau perusahaan di Papua Barat masih menjadi tulang punggung okupansi hotel hingga saat ini. Selain penurunan okupansi, kerugian berupa kerusakan bangunan juga harus dirasakan oleh sejumlah hotel.
“Ada hotel yang dirusak diamuk massa, ada yang tidak beroperasi karena pegawainya terpaksa diliburkan,” kata Adri.
Adri mengatakan bahwa PHRI Papua Barat masih belum menaksir berapa kerugian yang harus ditanggung akibat kerusuhan.
Ketua Umum Asita Nunung Rusmiati meyakini bahwa dampak dari gejolak yang terjadi sejumlah kota di Papua dan Papua Barat tidak akan berlangsung lama. Pasalnya, pemerintah telah mengambil langkah yang tepat untuk membuat situasi kembali kondusif.
Nunung mengapresiasi langkah pemerintah terutama gubernur dari daerah-daerah yang terlibat sudah bertemu menyelesaikan masalah ini secara damai.
“Apa yang dilakukan oleh gubernur-gubernur ini justru meyakinkan dunia internasional bahwa Indonesia aman karena pemerintah mampu menyelesaikan masalah ini dengan baik dalam waktu yang cukup singkat,” terangnya.
Nunung juga meyakini bahwa kunjungan wisatawan ke sejumlah destinasi wisata di Papua dan Papua Barat akan semakin meningkat karena didukung oleh gencarnya promosi baik di dalam maupun luar negeri. Namun, promosi tersebut kata dia tidak cukup untuk mendongkrak kunjungan wisatawan ke Papua dan Papua Barat.
Menurut Nunung tingginya harga tiket pesawat ke Papua dan Papua Barat masih menjadi kendala terbesar. Harga tiket pesawat yang tinggi membuat paket wisata ke Papua dan Papua Barat sulit bersaing dengan paket wisata lainnya, baik di dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, pihaknya berharap pemerintah bisa membantu menurunkan harga tiket pesawat yang menjadi komponen terbesar dalam sebuah paket wisata.
“60% harga paket wisata itu adalah harga tiket pesawat, kami berharap bisa diberikan subsidi untuk mendorong kunjungan wisatawan ke Papua dan Papua Barat,” imbuhnya.
Sementara itu, Menteri Pariwisata (Menpar) Arif Yahya memastikan kondisi pariwisata di Indonesia tetap tumbuh. Aksi demo Papua dan kericuhan di beberapa daerah tidak berpengaruh terhadap kunjungan wisata. Bahkan kunjungan wisatawan ke Raja Ampat yang merupakan destinasi andalan tetap tinggi.
“Tidak ada masalah, semuanya aman,” jelasnya saat melakukan kunjungan ke Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) di Kabupaten Kulonprogo DIY, Jumat (23/8/2019).
Kedatangan Menpar ini, dalam rangka kunjungan kerja untuk optimalisaai kunjungan wisata di DIY dan Jawa tengah. Salah satunya dalam pengembangan Candi Borobudur sebagai salah prioritas pengembangan wisata di Indonesia.
Menurut Menpar, selama ini wisata di Papua Barat kebanyakan datang untuk melihat keindahan alam di Raja Ampat. Saat ini kondisi disana cukup aman dan terkendali. Bahkan destinasi andalan di Papua ini sama sekali tidak terpengaruh aksi demo dan kericuhan. Susana masih cukup kondusif.
“Sampai siang ini belum ada travel agen yang cancel. Jadi disana cukup aman,” terang Menteri Pariwiaata.
Dari evaluasi kunjungan wisata di 2018, target devisa dari sektor wisata sudah tercapai. Dari target 17 miliar dolar mampu terealisasi hingga sekitar 19,3 miliar dolar. Sedangan tahun ini targetnya akan dinaikkan menjadi 20 miliar dolar dengan kunjungan wisata mencapai 18 juta orang.
“Kami yakin target akan tercapai karena realisasi di 2018 sudah sekitar 90 persen,” jelasnya. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post