ASIATODAY.ID, JAKARTA – Wacana terkait percepatan larangan ekspor nikel, dinilai masih spekulasi. Pasalnya, hingga kini, belum ada perubahan kebijakan terkait hal itu dan masih mengacu pada ketentuan sebelumnya, dimana larangan ekspor akan diberlakukan pada 2022.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menegaskan hal itu, di kantornya, di Jakarta, Senin (12/8/2019).
“Kami perlu tegaskan, sejauh ini tidak ada perubahan kebijakan. Sampai sekarang peraturannya masih tetap seperti itu yang berlaku,” terang Bambang.
Bambang sendiri tidak menepis adanya wacana tentang percepatan larangan ekspor, namun hal itu masih bersifat spekulasi. Ia juga enggan berbicara lebih banyak terkait hal tersebut.
“Yang pasti belum ada perubahan. Saya belum tahu apakah akan dipercepat atau dibatalkan percepatannya, karena belum final, saya tidak mau bicara,” tandasnya.
Sebelumnya, muncul wacana Menteri ESDM akan melarang penuh ekspor ore nikel dan bauksit. Meski sebelumnya Kementerian ESDM sudah mengeluarkan rekomendasi untuk ekpsor nikel dan bauksit.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, pada tahun 2018 lalu realisasi ekspor nikel sebesar 20,09 juta ton dan baukit 8,70 ton. Sedangkan rencana ekspor nikel pada tahun ini sebesar 15,07 juta dan bauksit sebanyak 10,97 juta.
Dalam perencanaan Kementerian ESDM, akan ada 40 smelter baru hingga tahun 2022. Dari tambahan smelter tersebut, 21 di antaranya merupakan smelter nikel dan bauksit berjumlah 6 smelter.
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin, pihaknya sudah diajak berdialog dengan pemerintah dalam rencana penerbitan aturan baru untuk mempercepat penghentian ekspor bijih nikel itu.
Namun ia enggan membeberkan isi dari aturan yang pernah dibicarakan. “Kami disampaikan sedang dibuat aturannya. Pointnya revisi, stop ekspor,” terangnya, Minggu (11/8/2019).
Meidy memandang langkah pemerintah ini menimbulkan pertanyaan besar.
“Sebaiknya pemerintah harus konsisten dengan PP 01/2019, bahwa pemberlakuan penghentian ekspor baru bisa dilakukan pada tahun 2022. Sebab, jika keputusan pemberhentian ekspor dikeluarkan dalam waktu cepat, maka akan banyak kerugian yang dialami penambang maupun pembuat smelter,” jelasnya.
Dia mengatakan, akan ada banyak tambang nikel yang tutup karena tidak bisa diekspor, berimbas pada harga yang tidak balancing.
“Harga ekspor dan harga lokal kan mati. Nanti terjadi kartel, ada yang menguasai harga dan kita tidak sanggup. Terlebih lagi, banyak yang tengah mengembangkan smelter, namun tidak ada pemasukan dana melalui penjualan bijih nikel yang diekspor. Alhasil, pembangunannya mangkrak,” tandasnya. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post