ASIATODAY.ID, JAKARTA – McKinsey Global Institute melaporkan, kawasan Asia Tenggara berpotensi menghadapi risiko perubahan iklim yang lebih ekstrem dibandingkan kawasan lain di dunia.
Pasalnya, kawasan Asia Tenggara sedang berusaha untuk memperluas ekonominya dan tetap menjadi mesin utama pertumbuhan dunia.
Berbagai resiko bahaya akan dialami oleh kawasan itu mulai dari bencana banjir, kekeringan, topan parah serta kondisi panas dan kelembaban yang meningkat. Dilain pihak, pandemi virus corona (Covid-19) menyoroti pentingnya risiko dan ketahanan terhadap kehidupan dan mata pencaharian.
“Mengingat dunia berfokus pada pemulihan ekonomi akibat pendemi Covid-19, penting untuk tidak melupakan fenomena perubahan iklim yang parah,” kata Jonathan Woetzel, direktur di McKinsey Global Institute yang memimpin penelitian, dalam sebuah pernyataan, dikutip CNBC internasional, Senin (17/8/2020).
Selain dampaknya terhadap Asia Tenggara, penelitian tersebut juga menguraikan potensi dampak cuaca ekstrem di negara-negara seperti Bangladesh, India, dan Pakistan – wilayah yang mereka sebut sebagai “Frontier Asia”.
“Kami memperkirakan bahwa pada tahun 2050, antara 500 juta dan 700 juta orang di Frontier Asia dapat hidup di kawasan yang memiliki kemungkinan gelombang panas tahunan yang mematikan sekitar 20 persen,” kata laporan itu.
Banjir pesisir yang diperparah oleh kenaikan permukaan laut adalah risiko yang parah di seluruh dunia dan laporan memperkirakan triliunan dolar dapat dipertaruhkan dari aset yang rusak di masa depan.
Banjir tidak hanya merusak infrastruktur tetapi terkadang mencemari sumber air minum.
Ekonomi Dipertaruhkan
Pada tahun 2050, antara USD2,8 triliun dan USD4,7 triliun produk domestik bruto di Asia akan menghadapi risiko setiap tahun dari hilangnya jam kerja luar ruangan yang efektif karena suhu dan kelembaban yang lebih tinggi, menurut laporan tersebut.
Negara-negara Asia dengan tingkat PDB per kapita yang lebih rendah akan paling berisiko dan orang miskin akan terpukul paling parah, kata laporan McKinsey. Itu karena mereka lebih terpapar iklim ekstrem dari kerja di luar ruangan.
McKinsey juga menyoroti beberapa potensi bahaya iklim yang dihadapi negara-negara di Asia Tenggara. Mereka disebut sebagai “Emerging Asia” dalam laporan tersebut, dan terdiri dari Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Negara-negara di kawasan ini diperkirakan akan mengalami peningkatan panas dan kelembapan.
Kemungkinan curah hujan ekstrim dapat meningkat tiga atau empat kali lipat pada tahun 2050 di Indonesia.
Infrastruktur Tangguh
Satu keuntungan yang dimiliki Asia Tenggara, saat ini infrastruktur dan wilayah perkotaan masih dibangun, kata McKinsey. Itu memberi negara kesempatan untuk membangun infrastruktur yang lebih tahan terhadap perubahan iklim ekstrim dan dapat menahan kejadian parah.
“Seperti seluruh belahan dunia, Asia juga dapat berkontribusi untuk mengurangi emisi; ilmu iklim memberi tahu kita bahwa pemanasan lebih lanjut akan terus berlanjut sampai emisi nol bersih tercapai, ”kata laporan itu.
“Jika pembuat kebijakan dan pemimpin bisnis dapat memanfaatkan semangat inovatif, bakat, dan fleksibilitas kawasan ini, Asia dapat memimpin respons global terhadap risiko iklim dengan beradaptasi dan dengan mengurangi konsekuensi potensial yang paling parah,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post