ASIATODAY.ID, JAKARTA – Co Founder Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I) Satya Hangga Yudha Widya Putra, B.A. (Hons), MSc menyatakan Indonesia adalah negara yang berbasis bahan bakar fosil (BBF). Mayoritas sumber energi di Indonesia berasal dari BBF (87%) sedangkan Energi Baru Terbarukan (EBT) di kisaran 12% sampai 13%.
“Namun, yang membedakan antara BBF sekarang dan BBF 20 hingga 30 tahun yang lalu adalah BBF sekarang adalah mesin penggerak ekonomi atau an engine of economic growth dan bukan lagi penghasil pendapatan negara atau net revenue generator,” kata Hangga dalam pernyataan yang diterima Asiatoday.id, Kamis (9/12/2021).
“Walaupun kita masih menerima APBN dari sektor BBF, namun berjalannya waktu sudah berkurang karena produksi kita yang menipis,” tambahnya.
Menyikapi kondisi tersebut, sambung Hangga, Indonesia harus bisa bertransisi ke sumber energi yang lebih berkelanjutan yaitu EBT.
“Dikarenakan kita adalah negara yang berbasis bahan bakar fosil perlu adanya sumber energi fosil (yang bersih dan carbon footprint-nya rendah) yang dapat membantu kita dalam proses transisi ini. Energi tersebut adalah gas atau LNG. Masa depan sektor energi di Indonesia dan bahkan di seluruh dunia ada di gas atau LNG dan EBT,” paparnya.
Lebih jauh Sekretaris Jenderal Asosiasi Penerima Beasiswa LPDP ini mengatakan, dampak dari penggunaan BBF itu sangat detrimental dan kerugian negara bisa puluhan sampai ratusan miliar dan bahkan triliunan.
“Sektor energi merupakan sektor yang memproduksi emisi gas rumah kaca (GRK) kedua terbesar setelah kehutanan dan lahan dengan rata-rata kontribusi per tahunnya sebesar 33% dari total emisi GRK nasional dan sejak tahun 2000 emisi GRK yang dihasilkan dari sektor energi mengalami pertumbuhan sebesar 1,1% per tahun,” ujarnya.
Menurut Hangga, dalam perjanjian internasional Paris Agreement terkait Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia memiliki target menurunkan emisi GRK sebesar 29% pada tahun 2030 (BAU) atau 41% dengan Bantuan Internasional sesuai dengan amanat UU No. 16/2016.
“Kalau dari sektor energi itu sebesar 314 – 398 juta ton CO2 pada tahun 2030,” kata Hangga.
Ditambahkan Hangga, komitmen Indonesia juga tertuang dalam PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yaitu 23% EBT dari Bauran Energi Primer pada tahun 2025.
“Indonesia memiliki target untuk mencapai Net Zero Emissions pada tahun 2060 namun ini penuh tantangan dikarenakan kita belum mengalami carbon emission peak,” kata Hangga.
Dipaparkan Hangga, untuk dapat mengurangi emisi GRK, Indonesia bisa menerapkan carbon tax and trading, Co-Firing PLTU dengan EBT, retirement PLTU, mengembangkan kendaraan listrik, meningkatkan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri, dan memanfaatkan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).
“Potensi kita di sektor EBT lebih dari 400 GW tetapi kita harus memastikan harganya kompetitif dan semua elemen masyarakat bisa mendapatkan akses,” ujarnya.
Kabar baiknya, sambung Hangga, sampai saat ini realisasi penurunan emisi karbon sudah melampaui target. Pemerintah dan Legislatif sangat serius dalam mengembangkan EBT dengan akan adanya Perpres EBT dan UU EBT.
Setiap warga negara memiliki kepentingan untuk menyukseskan program bersama ini.
“Peran pemuda sebagai generasi masa depan sangat penting dalam menangani permasalahan-permasalahan ini,” kata Hangga yang juga Sekjen Mata Garuda ini. (ATN)
Discussion about this post