ASIATODAY.ID, JAKARTA – Ketika Presiden Jokowi mengunjungi destinasi wisata Danau Toba dan juga mengunjungi Pulau Samosir, saya langsung teringat pada draf tulisan yang belum rampung ketika pada 2015 bersama rombongan MPR mengunjungi danau bekas gunung purba tersebut. Upaya pemerintah memasukkan Danau Toba sebagai “10 Bali Baru” tidak berlebihan.
Bahkan sebelumnya, Menko Maritim Rizal Ramli beberapa saat sebelum dipecat sempat mewacanakan kawasan Danau Toba sebagai “Monaco”-nya Indonesia. Dan ini sangat mungkin.
Nah, cerita saya menuju kawasan Danau Toba dimulai dari Kota Medan.
Jarak tempuh Kota Medan-Tanau Toba yang menghabiskan delapan jam pulang-pergi membuat saya sempat ciut. Apalagi petugas hotel juga sempat mengatakan kalau macet atau terjadi kecelakaan mobil di sekitar kelokan Parapat, jarak tempuh bisa melar sampai 14 jam bahkan lebih.
Kegalauan soal jarak tempuh sirna seketika saat panitia wisata mengabarkan, jurnalis tidak hanya bakal melihat sejauh memandang Danau Toba tetapi juga sekalian menyeberang dengan feri ke Pulau Samosir.
Cerita tentang Raja Sidabutar, penguasa pertama penghuni Pulau Samosir alias leluhur Batak, membuat saya penasaran.
Sebelum sampai tujuan, sepanjang jalan nasional tak kalah menarik dan menantang. Jalanan dua arah sangat ramai dengan bus dan truk pengangkut logistik. Perkebunan kelapa sawit dan pohon karet milik negara berjejer sebagian menunggu ditebang karena sudah mandul dan di bagian lainnya tengah subur-suburnya menunggu dipetik kuli-kuli berotot.
Suasana Batak tidak terlalu terasa ketika tiba di Kota Medan. Saya lebih banyak melihat wajah Melayu dan perempuan berjilbab serta amoi-amoi bercelana pendek. “Selama ini salah kalau orang menyebut Medan itu Batak. Lebih banyak orang Jawa. Malah yang banyak orang Batak itu di Jakarta dan Bekasi dibandingkan di Medan,” kata rekan seorang Batak tersenyum pahit.
Pemerintah Kota Medan mencatat suku Jawa mencapai 34 persen dari total penghuni sekitar 2,6 juta jiwa. Menyusul suku Batak 21 persen dan ketiga etnis China 11 persen. Selebihnya suku Minangkabau, Melayu dan Aceh.
Saat memasuki Pematang Siantar, saya baru merasakan Batak yang sebenarnya. Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) bertebaran di samping kiri dan kanan jalan. Rupanya rumah makan pun harus jelas identitasnya. Kalau tidak bertuliskan ‘Rumah Makan Minang’ sebagian ada yang bertuliskan ‘Rumah Makan Muslim’.
Setiap lekuk, belokan dan sudut Kota Pematang Siantar yang dilewati tak terlewatkan dari perhatian. Saya membayangkan kota ini ketika mantan anggota DPR almarhum Sutan Bhatoegana masih bercelana pendek dan hidup di barak serdadu.
Saya membayangkan ketika Sutan bersama gerombolan baraknya menyerang anak-anak di asrama polisi yang hanya dipisahkan sebuah sungai. Dari seberang kali itu ratusan batu sekepalan tangan dilemparkan dan baru kerkesudahan ketika dari salah satu pihak bocor kepalanya.
Ketika proses penulisan biografi “Sutan Bhatoegana: Ngeri-ngeri Sedap Goyang Senayan”, saya sebenarnya ingin sekali melihat langsung dan napak tilas kehidupan Sutan terutama ketika hidup di barak tentara.
Namun karena waktu yang terbatas, saya hanya bisa mengoreknya secara detail dari keterangan Sutan. Dan apa yang dituturkan Sutan masih terasa ketika saya melihat sekalias pusat Kota Pematang Siantar. (bersambung)
,’;\;\’\’
Discussion about this post