ASIATODAY.ID, JAKARTA – Sebuah riset terbaru yang diprakarsai oleh Standard Chartered menyebutkan, Indonesia meski diminati oleh perusahaan investasi terkemuka dunia, namun tidak mendapatkan investasi yang dibutuhkan untuk membantu dunia dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG’s) PBB.
The USD50 Trillion Question menyelidiki bagaimana beberapa manajer aset terbesar di dunia -dengan gabungan aset dalam kelolaan (AUM) sebesar USD50 triliun- berinvestasi pada saat kritis ini untuk ekonomi global dan lingkungan. Penelitian ini dilakukan melalui survei antara Juli dan Agustus 2020.
Riset itu menunjukkan bahwa hampir dua per tiga (64 persen) AUM diinvestasikan di pasar negara maju di Eropa dan Amerika Utara. Sebanyak 22 persen investasi ada di Asia, yang juga mencakup beberapa pasar maju di kawasan tersebut. Hanya dua persen aset diinvestasikan di Timur Tengah, lalu tiga persen di Afrika, dan lima persen di Amerika Selatan.
Proporsi investasi tersebut cukup kontras dengan 88 persen investor yang mengatakan investasi di negara berkembang telah menyamai atau mengungguli negara maju selama tiga tahun terakhir. Selain itu, pandemi Covid-19 mungkin mempersulit negara berkembang untuk mendapatkan investasi yang mereka butuhkan.
Diantara negara-negara berkembang di dunia, Indonesia adalah pilihan populer dengan 43 persen perusahaan investasi dunia mencantumkannya sebagai salah satu pasar prioritas mereka. Angka tersebut meningkat menjadi 60 persen di kelompok perusahaan-perusahaan investasi dengan pertumbuhan AUM setidaknya lima persen.
Menurut CEO Standard Chartered Bank Indonesia Andrew Chia, riset USD50 Trillion Question membuktikan investor perlu memperluas fokus mereka di luar negara maju.
Indonesia, dan negara berkembang lainnya menawarkan peluang unik kepada investor dengan pengembalian yang kuat dikombinasikan peluang untuk mendapatkan dampak positif yang signifikan.
“Sekarang waktunya untuk meraih peluang yang ada,” kata Andrew, melalui keterangan tertulisnya, Rabu (11/11/2020).
Risiko yang ditimbulkan oleh pasar negara berkembang disebutkan sebagai penghalang utama investasi. Lebih dari dua pertiga investor percaya pasar negara berkembang berisiko tinggi, dibandingkan dengan 42 persen yang percaya hal yang sama untuk pasar maju.
Riset itu menambahkan adanya fokus yang meningkat terhadap keberlanjutan, dengan 81 persen perusahaan investasi sekarang mengambil pendekatan yang taat terhadap investasi lingkungan, sosial dan tata kelola. Namun, ini tidak berarti investasi ada di sektor SDG’s. Hanya 13 persen dari aset yang dikelola oleh responden survei ditujukan untuk investasi terkait SDG’s.
Sekitar 55 persen mengklaim bahwa SDG’s tidak relevan dengan investasi umum/mainstream dan 47 persen mengatakan bahwa investasi dalam SDG’s terlalu sulit untuk diukur. Namun demikian, seperlima investor mengakui bahwa mereka tidak mengetahui tentang SDG’s.
Responden juga menyebutkan lima faktor utama yang dapat memacu lebih banyak investasi SDG’s, yaitu: perubahan peraturan, perlakuan pajak yang menguntungkan, bukti pengembalian yang lebih tinggi, data yang lebih baik untuk mengukur dampak, dan peningkatan permintaan dari investor ritel.
CEO, Corporate, Commercial and Institutional Banking, Standard Chartered Simon Cooper mengatakan banyak kemajuan telah dibuat dalam beberapa tahun terakhir untuk merealisasikan SDG’s, tetapi studi ini memperjelas perlunya untuk bergerak lebih cepat.
“Perlu adanya lonjakan besar, yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam investasi sektor swasta -di samping investasi publik serta komitmen- untuk dapat menjembatani kesenjangan dan mencapai target SDG’s 2030,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post