ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia terus mencari terobosan dalam upaya menekan emisi karbon.
Selain Pajak Karbon yang akan segera diimplementasikan oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga mulai menginisiasi sistem cap and trade carbon melalui uji coba perdagangan karbon di subsektor ketenagalistrikan untuk memangkas emisi gas rumah kaca yang dilepaskan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
“Langkah ini bertujuan untuk mendukung target pemangkasan emisi karbon atau gas rumah kaca di sektor energi sebesar 314–398 juta ton pada 2030,” kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana melalui keterangan tertulisnya yang dikutip di Jakarta, Minggu (24/10/2021).
Rida menambahkan, uji coba perdagangan karbon itu menerapkan mekanisme cap, trade, dan offset, sehingga diperlukan pembatasan terhadap nilai emisi karbon yang dihasilkan dari setiap PLTU.
Menurutnya, entitas yang mengemisi lebih dari cap diharuskan membeli izin emisi dari entitas yang mengemisi di bawah cap atau membeli sertifikat penurunan emisi.
“Dalam hal entitas tersebut tidak dapat membeli izin emisi atau sertifikat penurunan atas emisi di atas cap seluruhnya, maka sisa emisi akan dikenakan pajak karbon,” ujar Rida.
Pengembangan kelistrikan ke depan, terutama di sisi pembangkitan akan makin bergeser ke penggunaan sumber daya dan teknologi yang ramah lingkungan seiring dengan upaya PT PLN (Persero) dan pemerintah bergeser ke netralitas karbon.
Rida menyampaikan, ada beberapa upaya yang dilakukan untuk penurunan emisi gas rumah kaca dan mendukung pencapaian bauran energi baru terbarukan, di antaranya pelaksanaan co-firing biomassa di PLTU milik PLN, konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) ke pembangkit energi baru terbarukan, serta menjalankan konservasi dan efisiensi energi.
Dalam upaya mencapai target bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada 2025, teknologi co-firing biomassa dilakukan di beberapa PLTU milik PLN, dengan porsi rata-rata 10 persen untuk PLTU Jawa-Bali dan 20 persen untuk PLTU luar Jawa-Bali dengan capacity factor 70 persen.
“Total kapasitas setara 2.700 MW dan membutuhkan 8–13 juta ton biomassa per tahun,” terang Rida.
Sementara itu, program dedieselisasi dilakukan pada 588 MW PLTD yang setara dengan 1,2 GWp pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang di antaranya dilengkapi dengan baterai.
Pemerintah juga mengupayakan cara lain dengan membangun 4,7 GW PLTS dan 0,6 GW pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) untuk mencapai bauran energi baru terbarukan 23 persen yang semuanya ditargetkan selesai pada 2025.
Pajak Karbon Mulai Berlaku 1 April 2022
Pemerintah Indonesia mulai mengenakan pajak karbon dengan tarif sebesar Rp30 per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan pada 1 April 2022 mendatang.
“Elemen pajak karbon mulai 1 April 2022, namun mengikuti peta jalan bidang karbon yang berhubungan climate change,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, di Jakarta, Jumat (8/10/2021).
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengatur mengenai pengenaan pajak baru berupa pajak karbon yaitu pengenaan pajak untuk memulihkan lingkungan.
“Ini dilakukan sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030,” jelasnya.
Menurut Sri, penerapan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap serta diselaraskan dengan carbon trading sebagai bagian dari roadmap green economy untuk meminimalisasi dampaknya terhadap dunia usaha dengan tetap berperan menurunkan emisi karbon.
“Ini dasarnyanya adalah pengakuan kita bahwa karbon memiliki nilai ekonomi jadi kita akan melakukan pengenaan pajak karbon dengan mekanisme cap and tax trade,” kata Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.
Untuk tahap awal pada 2021 dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon dan pada 2022 sampai 2024 akan diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara berdasarkan mekanisme pajak batas emisi atau cap and tax.
Untuk 2025 dan seterusnya implementasi perdagangan karbon dilakukan secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai kesiapan sektor terkait.
Hal itu dilakukan dengan memperhatikan antara lain kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan atau skala.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI Dolfie mengatakan roadmap pajak karbon akan berisikan strategi penurunan emisi karbon nasional dengan sasaran sektor prioritas serta memperhatikan pembangunan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan keselarasan berbagai kebijakan.
“Dalam roadmap akan berisikan hal itu yang secara komprehensif untuk dijalankan. Di roadmap juga harus berisikan transformasi energi nasional berbasis energi bersih,” katanya. (ATN)
Discussion about this post