ASIATODAY.ID, WASHINGTON – World Bank mulai mengkhawatirkan kondisi negar-negara miskin yang kian terpuruk akibat terlilit utang.
Laporan World Bank yang dirilis pada Senin (11/10/2021), menunjukkan bahwa utang negara-negara miskin melonjak hingga 12% pada tahun 2020 dan nilainya telah menyentuh angka USD860 miliar.
Menurut Presiden World Bank, David Malpass, setengah dari negara-negara termiskin di dunia berada dalam kesulitan utang luar negeri atau setidaknya berisiko tinggi.
Malpass mengatakan tingkat utang yang berkelanjutan diperlukan untuk membantu negara-negara mencapai pemulihan ekonomi dan mengurangi kemiskinan.
“Kita membutuhkan pendekatan yang komprehensif untuk masalah utang, termasuk di antaranya adalah pengurangan utang, restrukturisasi yang lebih cepat dan transparansi yang lebih baik,” kata Malpass dalam laporan World Bank yang dikutip Selasa (12/10/2021).
Laporan World Bank menunjukkan, utang luar negeri negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, jika digabungkan naik 5,3% pada tahun 2020 menjadi USD8,7 triliun. Kondisi ini terjadi semua kawasan.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa arus masuk kreditur multilateral ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah naik menjadi USD117 miliar pada tahun 2020, angka tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Sedangkan pinjaman bersih ke negara-negara berpenghasilan rendah naik 25% menjadi USD71 miliar, angka ini juga yang tertinggi dalam satu dekade. Di antara jumlah tersebut, International Monetary Fund (IMF) dan kreditur multilateral lainnya menyediakan USD42 miliar dan kreditor bilateral USD10 miliar.
World Bank menyebut kenaikan utang luar negeri melampaui pendapatan nasional bruto (GNI) dan pertumbuhan ekspor naik lima poin persentase menjadi 42% pada tahun 2020. Sementara itu, rasio utang terhadap ekspor mereka melonjak dari 126% ke 154% pada tahun 2020.
Dengan fakta tersebut, Malpass menekankan bahwa upaya restrukturisasi utang sangat dibutuhkan, terlebih Inisiatif Penangguhan Layanan Utang Kelompok 20 negara (DSSI) akan berakhir tahun ini. DSSI yang selama ini menawarkan penangguhan sementara pembayaran utang dianggap cukup membantu.
Kreditur resmi G20 dan Klub Paris meluncurkan program utang khusus untuk merestrukturisasi situasi utang yang tidak berkelanjutan dan kesenjangan pembiayaan yang berkepanjangan untuk negara-negara yang memenuhi syarat DSSI. Tapi, hanya Ethiopia, Chad dan Zambia yang telah menerapkannya sejauh ini.
Salah satu sistem yang dilihat Malpass dapat dimasukkan sebagai bagian dari restrukturisasi utang Common Framework adalah pembekuan pembayaran utang lebih lanjut. Cara lain juga diperlukan, seperti meningkatkan partisipasi kreditur sektor swasta, yang sejauh ini masih belum mau terlibat.
Menyongsong tahun 2022, World Bank mengatakan akan memperluas laporannya untuk meningkatkan transparansi tentang tingkat utang global.
Di tahun mendatang, World Bank berjanji akan menyediakan data utang luar negeri yang lebih rinci dan tersortir dengan baik.
Melansir Reuters, data yang tersedia saat ini berisi rincian stok utang luar negeri negara peminjam untuk menunjukkan jumlah utang kepada masing-masing kreditur resmi dan swasta, komposisi mata uang utang, dan persyaratan pinjaman yang diperpanjang.
Khusus untuk negara-negara di bawah DSSI, data juga merinci layanan utang yang ditangguhkan pada tahun 2020 oleh masing-masing kreditur bilateral dan proyeksi pembayaran layanan utang bulanan yang terutang kepada mereka hingga tahun 2021. (ATN)
Discussion about this post