ASIATODAY.ID, BANGKOK – Thailand mulai mewaspadai banjir pengungsi dari Myanmar sebagai imbas kekacauan di negeri itu yang masih terus berkecamuk.
Karena itu, Thailand mendesak junta militer Myanmar untuk segera mengimplementasikan konsensus yang disepakati oleh para pemimpin Asia Tenggara (ASEAN) saat bertemu di Jakarta.
“Thailand mengaku prihatin dengan kekerasan di banyak wilayah di Myanmar, dan ingin melihat junta militer untuk membantu mengakhiri kekacauan sejak kudeta 1 Februari,” kata kementerian luar negeri Thailand pada Minggu (6/6/2021).
Sejauh ini, junta militer Myanmar baru menunjukkan sedikit tanda untuk mengindahkan lima poin konsensus yang disepakati di antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada April, yang menyerukan diakhirinya kekerasan, pembicaraan politik dan penunjukan utusan khusus regional.
“Kami telah mengikuti perkembangan di Myanmar dengan sangat prihatin, terutama insiden kekerasan di banyak bagian negara itu,” kata juru bicara kementerian luar negeri Tanee Sangrat dalam sebuah pernyataan.
Dia mengulangi seruan untuk mengakhiri kekerasan, pembebasan semua tahanan dan implementasi konkret dari Konsensus Lima Poin sesegera mungkin.
Junta militer gagal menerapkan kontrol di negara itu sejak merebut kekuasaan dari pemimpin terpilih Aug San Suu Kyi, dan menahan lebih dari 4.500 orang sejak kudeta. Sedikitnya 847 orang tewas, kata sebuah kelompok hak asasi manusia. Namun pihak militer membantah angka itu.
Sementara itu, protes harian terhadap militer telah berkembang di beberapa bagian Myanmar menjadi pemberontakan bersenjata. Dilain pihak, konflik etnis yang telah berlangsung selama satu dekade telah berkobar lagi.
Para penentang junta telah menyuarakan rasa frustrasi atas kurangnya tindakan keras ASEAN dan mengatakan pertemuan dua perwakilan kelompok itu dengan pemimpin junta Min Aung Hlaing pada hari Jumat, malah memberinya legitimasi yang lebih besar tetapi tidak membawa manfaat.
Thailand memiliki garis perbatasan yang panjang dengan Myanmar daripada negara lain. Mereka khawatir konflik tersebut dapat membawa banjir pengungsi ke wilayahnya. Pemerintahannya sendiri dipimpin oleh seorang mantan panglima militer yang merebut kekuasaan dalam sebuah kudeta sebelum mengadakan pemilihan.
“Banyak dari apa yang telah dilakukan Thailand mungkin tidak dipublikasikan karena kami percaya bahwa diplomasi yang tenang dan rahasia antara tetangga akan lebih efektif dan sejalan dengan diplomasi tradisional Thailand,” kata Tanee. (CNA)
Discussion about this post