ASIATODAY.ID, JAKARTA – Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) yang terjadi di Indonesia kini menjadi sorotan dunia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengingatkan, polusi akibat karhutla di Indonesia bisa mengancam hidup 10 juta anak.
“Kualitas udara buruk merupakan tantangan bagi Indonesia,” terang wakil Badan Anak PBB (UNICEF) untuk Indonesia, Debora Comini, dikutip AFP, Rabu (25/9/2019).
“Setiap tahun, jutaan anak menghirup udara beracun yang mengancam kesehatan hingga mereka terpaksa bolos sekolah, menyebabkan kerusakan fisik dan kognitif mereka,” terangnya.
Menurut Comini, hampir 10 juta anak di bawah usia 18 tahun tinggal di kawasan yang paling rawan terkena dampak karhutla berada di Sumatera dan Kalimantan.
Comini mengungkapkan, anak pada usia tersebut sangat rentan karena perkembangan sistem imun mereka belum sempurna.
Sedangkan anak dari ibu yang terpapar polusi selama masa kehamilan juga berpotensi lahir dengan berat badan kurang dan prematur.
Sejauh ini, Pemerintah Indonesia terus berupaya memadamkan Karhutla di Sumatera dan Kalimantan.
Tidak Bakar Vegetasi
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rafless Brotestes Panjaitan mengungkapkan, karhutla yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan tidak membakar vegetasi pepohonan.
Menurut dia, karhutla yang terjadi sebagian besar berada di area lahan masyarakat yang berupa lahan gambut.
“Secara umum, dari hutan yang terbakar, dari 328.000 ha yang berhutan, hanya 28.000 ha dari coverage area yang terbakar. 300.000 ha yang terbakar itu tidak ada pohon,” terang Rafless dalam keterangan persnya yang diterima Rabu (25/9/2019).
Rafless mengatakan, fakta tersebut berdasarkan hasil pemeriksaan citra satelit, citra hotspot, dan pengecekan langsung ke lapangan. “Itu bukan vegetasi pohon berhutan,” imbuhnya.
Jumlah hotspot di beberapa wilayah kata dia, sudah menurun meskipun masih ditemukan di sejumlah titik pada Selasa pagi.
Namun titik kebakaran tersebut sudah ditangani langsung oleh satgas seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Dikatakan, teknologi modifikasi cuaca (TMC) dengan melakukan hujan buatan menjadi penyebab berkurangnya jumlah hotspot yang ada.
Saat ini kata dia, masih ada 64 hotspot di Riau, 165 hotpsot di Sumatera Selatan, dan 130 hotspot di Jambi. Kemudian di Kalimantan Tengah masih ditemukan hotspot hingga 475, terutama di wilayah Kota Waringin Timur. Kemudian di Kalimantan Barat tinggal 39 hotspot, Kalimantan Selatan 61 hotspot, serta Papua yang juga ditemukan ada 7 hotspot. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post