ASIATODAY.ID, JAKARTA – Penasihat Komisi Global untuk Geopolitik Transformasi Energi International Renewable Energy Agency (IRENA) Mari Elka Pangestu menyoroti diskriminasi sawit Indonesia yang dilakukan oleh Uni Eropa (UE). Indonesia diharapkan tidak tinggal diam dan perlu melakukan perlawanan yang lebih elegan.
Uni Eropa bersikeras untuk tidak menerima bahan bakar berbasis kelapa sawit dari Indonesia. Sementara itu, produk lain yang berbasis kelapa sawit tidak dipermasalahkan.
“Langkah Uni Eropa mengherankan. Biofuel berbasis kelapa sawit dilarang, tapi yang lain tidak dilarang. Itu tidak adil. Namanya diskriminasi, dari segi fairness of trade. Harus fight di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Oganization/WTO),” tegas Mari, di The Tribrata, Jakarta, Jumat (17/01/2020).
Mari memandang Uni Eropa tidak fair. Ia bahkan heran dengan sorotan negatif terhadap penggunaan kelapa sawit dalam biofuel, sementara penggunaan kelapa sawit untuk makanan dan kosmetik belum terlalu negatif.
“Tentunya ini harus dipelajari, ke depan mau seperti apa. Saya memandang, kalau mau menggunakan kelapa sawit sebagai sektor yang dikembangkan, harus dipikirkan untuk penggunaan yang lain. Selain untuk makanan dan biofuel, banyak turuannya bisa dimanfaatkan dengan Inovasi tentunya,” imbuhnya.
Menurut Mari, kelapa sawit Indonesia tidak seburuk seperti yang dipandang Uni Eropa. Kelapa sawit, memberikan banyak dampak positif bagi lingkungan.
“Paling efiisen untuk penggunaan lahan. Kalau bicara environment impact, yaitu penggunaan lahannya,” kata Mari, yang kini juga menjabat Direktur Pelaksana, Kebijakan, dan Kemitraan Pembangunan Bank Dunia.
“Jika membaca tren, persaingan dunia saat ini ialah penggunaan kelapa sawit untuk makanan dan biofuel. Hanya saja, penggunaan kelapa sawit terhadap biofuel menjadi tantangan yang besar. Selama menunjukkan proses sustainable, makanan oke saja. Hanya saja masalahnya di biofuel,” tandasnya. (ATN)
,’;\;\’\’
Discussion about this post