ASIATODAY.ID, JAKARTA – Rencana ratifikasi protokol kemitraan perdagangan antara Indonesia dengan Jepang jadi sorotan tajam. Pasalnya, ratifikasi itu hanya menguntungkan Jepang dan tidak membawa dampak signifikan bagi Indonesia.
Rencana ratifikasi tersebut dipaparkan oleh Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dalam forum Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI pada Kamis (30/01/2020).
Rapat tersebut membahas rencana pengesahan Protokol Pertama untuk mengubah Persetujuan Tentang Kemitraan Ekonomi Menyeluruh Antar Negara-Negara Anggota ASEAN dan Jepang.
Anggota Komisi VI DPR RI Lamhot Sinaga meminta agar Kementerian Perdagangan mempersiapkan langkah-langkah komprehensif untuk mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia. Ia berharap Menteri Perdagangan memiliki strategi yang matang dalam rangka melakukan perjanjian-perjanjian kerja sama perdagangan dengan negara asing, termasuk dengan Jepang.
“Di depan mata kita sekarang ini, defisit perdagangan kita, neraca perdagangan kita ini sangat jauh. Ada suatu kekhawatiran yang sangat besar terhadap perjanjian-perjanjian ini. Apakah memang ini sebuah jawaban untuk mengurangi defisit neraca perdagangan kita. Mungkin dalam pemaparan ke depan lebih mengutamakan bagaimana perjanjian-perjanjian ini adalah sebuah skenario untuk menjawab mengurangi defisit neraca perdagangan kita,” jelasnya.
Politisi Fraksi Partai Golkar tersebut menyarankan agar kesiapan infrastruktur bisa menjadi salah satu hal pendukung ketika kerja sama perdagangan ASEAN-Jepang telah ditandatangani. Terutama instrumen-instrumen pendukung yang akan dilakukan para pelaku usaha untuk berkompetisi dengan SDM asal Jepang.
“Jangan sampai perjanjian ini justru akan mengantarkan Indonesia ke sebuah jurang defisit neraca perdagangan yang semakin lebar,” jelasnya.
Menurut dia, Jepang merupakan teman bisnis Indonesia yang sangat handal hingga dapat menguasai pasar-pasar Indonesia di segala bidang. Ia juga menyampaikan bahwa Jepang memiliki strategi doktrin yang kuat untuk melakukan upaya invasi di bidang ekonomi perdagangan, sehingga ia berharap Indonesia melalui Menteri Perdagangan dapat mempersiapkan hal tersebut.
“Kita juga ingat bagaimana doktrin Jepang. Ini kita tidak bisa lihat ini hanya berdasarkan dari segi ekonomi. Kita tahu misalnya soal doktrin Yoshida yang mensinergikan semua aspek politik ke dalam aspek ekonomi. Mereka hebat. Artinya mereka ini mendorong perjanjian-perjanjian ini ke negara-negara ASEAN dan khususnya ke Indonesia. Sudah mempersiapkan diri dengan betul,” imbuhnya.
Bukannya tanpa alasan ia mengatakan demikian, sebab hal yang utama yang harus dilakukan Indonesia saat ini yaitu mengurangi defisit neraca perdagangan yang terus merosot.
Menurutnya sangat tidak mudah untuk melakukan hal tersebut di tengah derasnya perang dagang yang dilancarkan saat ini. Untuk itu ia berharap Mendag memiliki political will terhadap hal tersebut.
“Ini kan perlu langkah-langkah strategis. Langkah strategis ini harus di desain, tidak bisa spontan lalu ujungnya dibiarkan. Kita hanya membuat narasi-narasi perjanjian ini lalu kita tidak membuat sebuah desain baru untuk menaikkan itu. Oleh karena itu mungkin sebelum perjanjian ini ditanda tangani perlu sebuah pendalaman yang sangat serius,” tandasnya.
Sementara itu, anggota Komisi VI lainnya Amin AK menyatakan bahwa ratifikasi ini hanya akan menguntungkan Jepang sebab, sejak 2013 hingga 2018 kinerja perdagangan jasa Indonesia terus defisit.
“Ratifikasi usaha sekiranya memproteksi jasa strategis dalam negeri, sektor jasa keuangan dan bank. Jangan sampai dikuasai asing,” ujar politisi PKS itu.
Sebagai gambaran, kinerja Perdagangan Jasa antara Indonesia dan Jepang untuk periode 2013 hingga 2018 menunjukkan defisit secara 6 tahun berturut-turut. Pada 2018, tercatat impor non-migas dari Jepang sebesar USD16,6 miliar atau Rp232,4 triliun sementara total ekspor ke Jepang pada periode yang sama sebesar USD12,1 atau Rp169,4 triliun.
Hal lain juga diungkapkan anggota Komisi VI dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Evita Nursanti. Ia menyatakan alasan ketimpangan angka ekspor dan impor yang ada ialah perbedaan standar yang dipakai kedua negara.
Dirinya menyebut menurut Badan Standarisasi Nasional (BSN) perbedaan standar mutu yang digunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Internasional Organisation for Standarisation (ISO) yang menghalangi produk Indonesia untuk dipasarkan di Jepang.
“Yang saya dengar produk kita mutunya tidak bisa diterima di Jepang, Standar SNI kita tidak ISO standar, kita menerapkan SNI, barang kita tidak bisa diterima di Jepang, ini merugikan kita,” paparnya.
Lebih lanjut Evita mengatakan bahwa jika tidak ada evaluasi perbaikan standar yang dilakukan maka ratifikasi perjanjian yang dilakukan hanya akan merugikan Usaha Kecil dan Menengah (UMKM).
Sebelumnya, ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP) Agreement telah ditandatangani oleh seluruh negara ASEAN dan Jepang pada 2008 lalu. Amandemen terhadap persetujuan AJCEP ini dilakukan untuk menginkorporasikan Bab Perdagangan Jasa, Movement of Natural Persons (MNP), dan Investasi.
Merespon kalangan dewan, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan ratifikasi yang tengah digodok pemerintah ini berpotensi menumbuhkan investasi sebesar 3 persen hingga 5 persen hingga 2045.
“Pemerintah terus mendorong investasi Jepang pada sektor-sektor manufaktur dan jasa melakui kepastian hukum dalam kegiatan investasi,” tandasnya. (ATN)
,’;\;\’\’
Discussion about this post