ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Joe Biden diprediksi akan menata ulang ekonomi AS di kawasan Asia Pasifik, menyusul dua perjanjian perdagangan bebas terbesar yang ditandatangani oleh negara-negara di kawasan itu.
Pertama dari dua perjanjian perdagangan terbesar adalah Trans-Pacific Partnership (TPP). Ini dinegosiasikan oleh pemerintahan Obama tetapi tidak pernah disetujui oleh Kongres. Presiden Donald Trump kemudian menarik AS keluar dari TPP pada 2017 ketika 11 negara yang tersisa melakukan negosiasi ulang dan menandatangani Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) setahun kemudian.
Dua pekan lalu, 15 negara termasuk China, Australia, Jepang, Korea Selatan, serta negara-negara Asia Tenggara menandatangani Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
Ini juga merupakan blok perdagangan terbesar secara global yang memiliki pangsa pasar 2,2 miliar orang dan USD26,2 triliun output global, sekitar 30 persen dari PDB dunia.
“Hingga saat ini, pemerintahan AS yang akan datang belum berkomitmen dengan masa depan TPP,” ujar CEO Center for a New American Security Richard Fontaine dilansir dari CNBC International, Selasa (24/11/2020).
Fontaine sebelumnya menjabat sebagai penasihat kebijakan luar negeri untuk Senator John McCain dan bekerja di Departemen Luar Negeri AS.
Dia menjelaskan bahwa Presiden terpilih Joe Biden dan pemerintahannya akan memasuki era ketika AS bukan pihak dari TPP maupun RCEP.
“Namun mereka setidaknya harus mempertimbangkan seperti apa masa depan kepemimpinan ekonomi AS di Asia,” katanya.
Menurut Fontaine, perubahan besar antara pemerintahan Trump dan pemerintahan Biden yang akan datang akan menjadi pendekatan multilateralisme yang terakhir.
“Presiden terpilih dan timnya mengatakan mereka akan bekerja dengan mitra dan sekutu, serta negara-negara yang memiliki visi sama terkait masalah utama, mulai dari perubahan iklim dan kesehatan global, pandemi, hingga China,” kata Fontaine.
Perdagangan tetap menjadi masalah rumit yang tunduk pada politik dalam negeri. Meskipun pemerintahan Biden dipercaya tidak akan memberlakukan banyak tarif seperti yang dilakukan Trump, kebijakan itu akan tetap diwarisi, termasuk pungutan AS ke China selama perang dagang. (ATN)
Discussion about this post