ASIATODAY.ID, PHNOM PENH – Situasi keamanan global dan potensi meluasnya konflik di kawasan Indo Pasifik menjadi sorotan besar Pemerintah Indonesia, baik dalam ASEAN Regional Forum (ARF) maupun dalam East Asia Summit (EAS) yang digelar di Phnom Penh, Kamboja, tanggal 5 Agustus 2022.
“Ancaman non tradisional, seperti krisis energi, krisis pangan, jangan dilupakan untuk diberi perhatian di tengah situasi tantangan keamanan, karena isu terkait pangan dan energi sangat terkait dengan kepentingan rakyat”, kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Republik Indonesia, Retno Marsudi dalam pertemuan ASEAN Regional Forum (ARF).
Pertemuan ARF ini merupakan pertemuan terakhir dalam rangkaian pertemuan AMM/PMC.
Dalam pernyataannya, Menlu Retno memulai dengan tiga pertanyaan:
Pertama, apakah konflik yang terjadi di Kawasan lain dapat terjadi di Kawasan kita. Menlu sampaikan kemungkinan hal itu dapat terjadi.
Kedua, apakah ketegangan yang ada saat ini di berbagai bagian dunia dapat meningkat dan memburuk. Menlu sampaikan bahwa kemungkinan itu ada.
Ketiga, dengan situasi ini, apa yang harus dilakukan oleh dunia?
Dalam kaitan ini, Menlu Retno menyampaikan tiga saran:
Pertama, terus perkuat dialog dan paradigma kolaborasi. Kedua, terus perkuat penghormatan terhadap hukum-hukum internasional; dan Ketiga, jangan melupakan bahwa selain menghadapi tantangan tradisional terkait keamanan, dunia tidak boleh lupa mengenai tantangan non-tradisional. Tantangan ini penting untuk terus diatasi melalui kerja sama karena menyangkut langsung kepentingan rakyat.
Para Menlu peserta ARF menegaskan urgensi ARF tetap menjadi forum yang berperan dalam meningkatkan saling pengertian dan saling percaya serta transparansi di kawasan.
Pertemuan juga telah mengadopsi beberapa dokumen, termasuk ARF Statement to Promote Peace, Stability and Prosperity in the Region through Preventive Measures.
Dalam dokumen ini, Indonesia berhasil untuk pertama kalinya membuat rujukan AOIP di dalam ARF. Statement mengakui pentingnya prinsip dan tujuan AOIP di dalam ARF.
“Indonesia akan terus bangun kesadaran mitra mengenai pentingnya AOIP, termasuk nantinya dalam pemajuan kerja sama nyata di ARF berdasarkan area prioritas AOIP,” imbuhnya.
EAS sebaghai “Kapal” Bersama untuk Ciptakan Stabilitas dan Perdamaian
“Jika Indo Pasifik adalah laut yang dipenuhi dinamika, maka East Asia Summit (EAS) adalah “kapal” dimana kita mendayung bersama untuk mencapai tujuan, yaitu perdamaian dan stabilitas”, kata Menlu Retno dalam Pertemuan para Menlu EAS, di Phnom Penh, 5 Agustus 2022.
Menlu Retno secara terus terang menyampaikan kekhawatiran mengenai situasi dunia saat ini. Perang bukan lagi sesuatu yang tidak mungkin terjadi, namun sudah merupakan bagian realitas. Perang di Ukraina merupakan salah satu contoh dari realitas ini.
Lebih jauh lagi, Menlu Retno sampaikan bahwa Kawasan lain bukan tidak mungkin akan mengalami hal yang sama, mengingat saat ini kita melihat sejumlah flashpoints yang dapat berubah menjadi konflik terbuka, termasuk Myanmar dan situasi di Taiwan Straits.
“Oleh karena itu, dunia saat ini sangat memerlukan kearifan dan tanggung jawab semua pemimpin, semua negara, agar perdamaian dan stabilitas terjaga”, menurut Menlu Retno.
Kawasan Indo Pasifik juga menjadi perhatian Indonesia dalam Pertemuan para Menlu EAS.
“Indo Pasifik merupakan Kawasan yang sangat strategis bagi dunia, termasuk bagi pemulihan ekonomi dunia”, ujar Menlu Retno.
Untuk mencapai stabilitas dan perdamaian di Indo Pasifik, Menlu Retno sampaikan 3 pemikiran untuk EAS:
Pertama, EAS harus terus dibangun dengan menggunakan paradigma kolaborasi. ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) dibuat memang untuk menebarkan paradigma kolaborasi tidak saja di ASEAN, namun juga lebih jauh dari Kawasan Asia Tenggara. Yang diperlukan saat ini adalah kerja sama konkret.
“Dan kerja sama ini hanya dapat dilakukan jika semua menjalankan positive sum game, dimana semua pihak akan memiliki keuntungan dengan adanya kerja sama ini,” imbuhnya.
Kedua, EAS harus dinavigasi dengan menggunakan Piagam PBB dan Hukum Internasional.
“Pada saat lautan gelap dan guideless, maka Piagam PBB dan Hukum Internasional seharusnya menjadi “lighthouse-nya”, ujar Menlu Retno.
Selain itu, penting juga penghormatan terhadap prinsip dan norma yang sudah disepakati bersama termasuk apa yang ada dalam Piagam PBB dan Bali Principles 2011.
Menlu Retno tekankan bahwa penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah adalah prinsip yang tidak dapat ditawar.
Ketiga, EAS harus menjadi model bagi arsitektur Kawasan. Isu inklusivitas menjadi kunci dan ASEAN terus membuka pintu bagi kerja sama dengan semua pihak melalui ASEAN-led mechanism.
Sebagai penutup, Menlu RI mengajak semua negara untuk bekerja sama dalam menciptakan stabilitas, perdamaian dan kemakmuran di Kawasan Indo Pasifik.
Pertemuan EAS adalah forum ASEAN untuk bertemunya 18 negara di Kawasan Indo Pasifik. Pertemuan dihadiri oleh Menteri Luar Negeri dan perwakilan Menlu dari Indonesia, Brunei, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Australia, RRT, India, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, Rusia dan Amerika Serikat.
Dalam pertemuan kali ini, Indonesia sebagai incoming chair EAS mendapatkan kesempatan pertama bicara di antara Menteri Luar Negeri negara partisipan EAS lainnya. (ATN)
Discussion about this post