ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia memiliki keunggulan potensi panas bumi (Geothermal) untuk mempercepat transisi energi hijau.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa, mengungkapkan panas bumi merupakan elemen penting yang dimiliki Indonesia untuk mencapai target nol emisi bersih (net zero emissions/NZE).
“Dalam rangka mencapai NZE, seluruh potensi energi terbarukan, termasuk panas bumi harus dikembangkan dengan optimal,” katanya dalam keterangannya Rabu (14/9/2022).
Ia memandang, wajar pemerintah memberi perhatian serius untuk pengembangan panas bumi. Apalagi pemerintah memiliki peta jalan (roadmap) pengembangan panas bumi hingga mencapai kapasitas 7 Gigawatt (GW) pada 2030.
“Sejak 15 tahun lalu, pengembangan panas bumi selalu jadi prioritas dan berbagai instrumen mitigasi risiko hulu dibuat oleh Kementerian Keuangan,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) ini.
Terlebih saat ini, Indonesia memiliki fasilitas penurunan risiko eksplorasi panas bumi, yaitu Geothermal Resources Risk Management (GREM) yang dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).
Belum lagi pendanaan infrastruktur panas bumi yang juga dikelola PT SMI sebesar Rp3,7 triliun dari APBN dan hibah World Bank.
“Dibandingkan dengan energi baru terbarukan lainnya, upaya memberikan dukungan panas bumi jauh lebih besar,” katanya.
Selain itu, ada pemain besar dan konsisten yang kembangkan panas bumi di Indonesia, salah satunya PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina Power Indonesia, subholding Power and New Renewable Energy Pertamina.
Untuk mencapai NZE pada 2060, seluruh potensi energi baru terbarukan, termasuk panas bumi harus dikembangkan dengan optimal.
“Dalam hal ini prospek bisnis PGE sangat bagus,” ujarnya.
Menurut Fabby, PGE tetap harus didukung agar target yang dicanangkan bisa tercapai. Penguatan PGE lebih pada kemampuan dalam mengelola risiko.
“Tak bisa dipungkiri pengembangan panas bumi tidak beda jauh dengan migas yang memiliki risiko tinggi,” ujarnya.
Dia menyarankan agar PGE mempersingkat waktu pengembangan lapangan panas bumi dan pembiayaan untuk investasi.
“Termasuk bermitra serta mengeksplorasi pemanfaatan listrik panas bumi untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi, misalnya green hydrogen,” ujarnya.
Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Ahmad Yuniarto, mengatakan risiko dalam pengelolaan proyek panas bumi tidak hanya pada fase eksplorasi.
Ketika memasuki tahapan konstruksi PLTP dan bahkan pada fase operasional lapangan dan PLTP, risiko meningkat.
“Risiko ini terbagi atas surface maupun sub-surface,” ujarnya.
Yuniarto menjelaskan, energi panas bumi diharapkan menjadi pilar utama dalam menyongsong kebutuhan akan EBT di masa datang, termasuk mendukung program NZE dan menjadi pemicu multiplier effect terhadap pengembangan green economy.
Apalagi energi panas bumi merupakan satu-satunya EBT yang bisa mensuplai energi secara kontinu dan dapat dijadikan sebagai beban dasar (baseload power) dalam sistem ketenagalistrikan dengan tingkat ketersediaan (availability factor) yang tinggi.
Saat ini, PGE mengelola 13 WKP dengan kapasitas terpasang PLTP sebesar 1,8GW. Dari jumlah itu, 672 MW dioperasikan dan dikelola langsung PGE dan 1.205 MW dikelola dengan skenario Kontrak Operasi Bersama. (ATN)
Discussion about this post