ASIATODAY.ID, JAKARTA – Aktivitas tambang nikel ilegal di Sulawesi terus menjadi sorotan, terutama di wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra).
Pasalnya, aktivitas tambang nikel tersebut dikendalikan oleh para mafia. Ironisnya, mereka sama sekali tidak tersentuh hukum.
“Kami mendesak Kapolri, Komisi VII DPR RI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menindak pertambangan nikel ilegal ini,” tegas Direktur Perkumpulan Pusat Kajian Isu (PPKI), Icas Sarilimpu kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (3/11/2022).
Temuan PPKI, praktek mafia tambang nikel yang terjadi di wilayah itu, didominasi oleh kegiatan perusahaan yang menyalahgunakan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPKH).
“Tindakan pemilik IUP dan kuota IPKH merupakan tindakan kejahatan luar biasa. Kami meminta pertanggungjawaban pemilik IUP yang melakukan produksi di luar IPKH dan dalam kawasan hutan yang tidak memiliki IPKH,” tegas Ichas.
Berdasarkan data PPKI, setidaknya ada 126 perusahaan yang diduga melakukan aktivitas pertambangan nikel ilegal di wilayah Sulawesi Tenggara yang tersebar di tiga daerah, seperti Konawe Utara, Kolaka Utara, dan Kolaka seluas 1.158 hektar.
“Untuk penambangan di luar IPKH terbanyak di Konawe Utara yang melibatkan 13 perusahaan, di Kolaka 3 perusahaan. Sedangkan Kolaka Utara juga 3 perusahaan,” jelasnya.
Oleh karenanya, PPKI mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengevaluasi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2022 beserta kuota penjualan pemegang IUP sebagai dasar maraknya aktivitas pertambangan nikel ilegal.
“Karena kita duga kuat terdapat jual beli dokumen untuk melapangkan jalannya aktivitas pertambangan nikel ilegal,” jelasnya.
“Kemudian tunda penerbitan RKAB dan kuota penjualan tahun 2023 sampai persoalan ini benar-benar telah dinyatakan selesai oleh pihak-pihak terkait,” tegasnya.
Bahkan yang memprihatinkan, terang Icas, para terduga penambang ilegal ini tidak memiliki kewajiban untuk reklamasi pasca tambang dan dana tanggung jawab bagi masyarakat lingkar tambang.
“Otomatis yang di dapat masyarakat lingkar tambang hanyalah dampak buruk dari aktivitas pertambangan. Lemahnya penegak hukum terhadap penambangan ilegal tersebut menimbulkan keraguan publik mengenai pemberantasan terhadap kejahatan ini,” paparnya.
Dari sisi yuridis dan normatif Indonesia telah memiliki UU Nomor 3 Tahun 2021 tentang perubahan UU nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara.
Pada pasal 158 UU tersebut disebutkan
bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan didenda paling banyak Rp 100.000.000.000.
Sejauh ini, Perkumpulan Pusat Kajian Isu (PPKI) telah melaporkan dugaan kasus pertambangan ilegal di Konawe Utara, Kolaka Utara, dan Kolaka seluas 1.158 hektar ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Mabes Polri.
“Kita juga laporkan ke Komisi IV DPR RI, Komisi VII DPR RI, dan selanjutnya akan melaporkan ke Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” pungkasnya.
KLHK Temukan Tambang Nikel Ilegal di Sultra
Sebelumnya, Tim Operasi Gabungan Pengamanan Kawasan Hutan menemukan tambang nikel ilegal dalam kawasan hutan di Desa Mandiodo, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Kamis (11/8).
Aktivitas penambangan itu langsung dihentikan dan sejumlah pelaku ditangkap.
Tim operasi yang terdiri atas Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi, Polda Sultra, Kejati Sultra serta KPH Laiwoi Utara itu menemukan lokasi tambang ilegal tersebut setelah mendapat informasi dari masyarakat. Saat mengecek ke lokasi, tim menemukan 11 operator penambangan dan langsung menangkap mereka.
“Tim Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi masih memeriksa dan mengambil keterangan dari 11 orang itu,” kata Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi Dodi Kurniawan dalam siaran persnya, Senin (15/8/2022).
Selain menangkap 11 pelaku, tim operasi juga menyita 4 unit ekskavator dan dua kendaraan double cabine yang diduga digunakan untuk menambang nikel secara ilegal di sana.
Plt Direktur Pencegahan dan Pengamanan KLHK Sustyo Iriyono mengatakan, aktivitas pertambangan ilegal biasanya beroperasi secara terorganisir, melibatkan banyak pihak, ada pemodalnya, dan tentu ada pembeli hasilnya. Karena itu, tim operasi akan terus mengusut kasus ini untuk menangkap pelaku lainnya.
“Kami akan terus memburu aktor intelektual di balik kasus ini,” ujar Sustyo.
“Kami ingatkan kembali para pelaku kejahatan lingkungan dan kehutanan, khususnya pelaku tambang ilegal, kami tidak akan berhenti untuk menindak pelaku kejahatan yang mendapatkan keuntungan pribadi di atas kerusakan lingkungan, penderitaan masyarakat serta kerugian negara,” ucapnya.
Dodi juga menegaskan bahwa KLHK berkomitmen dan serius untuk menegakkan hukum lingkungan hidup dan kehutanan.
“Kami akan menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan, biar ada efek jera,” tandasnya. (ATN)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post