ASIATODAY.ID, JAKARTA – Center of Reform on Economics (CORE) menjabarkan prospek ekonomi Indonesia yang turun tajam sepanjang 2020 menyebabkan aktivitas penanaman modal ikut tertekan, bahkan lebih besar dibandingkan dengan konsumsi swasta dan belanja pemerintah.
Sepanjang tiga kuartal pertama 2020, penanaman modal tetap bruto mengalami kontraksi 4,5 persen (yoy), terutama investasi mesin dan perlengkapan dan investasi kendaraan yang masing-masing turun 13 persen dan 15,3 persen.
Meskipun demikian, CORE Indonesia optimistis investasi diperkirakan akan kembali tumbuh positif di kisaran 3-4 persen pada 2021. Investor di sektor swasta masih menyesuaikan dengan permintaan domestik yang diperkirakan belum sepenuhnya pulih akibat pandemi, meskipun proses vaksinasi diperkirakan telah berlangsung di Indonesia.
“Walaupun terjadi peningkatan permintaan baik domestik maupun ekspor, kapasitas terpasang saat ini masih cukup untuk memenuhi kenaikan permintaan tersebut,” papar CORE Indonesia dalam rilis CORE Economic Outlook 2021 dikutip Minggu (22/11/2020).
Sementara itu, realisasi belanja modal pemerintah diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi, sejalan dengan peningkatan alokasi belanja modal pada APBN 2021 yang ditetapkan Rp250 triliun, naik 82 persen dari alokasi 2020 yang mencapai lebih dari Rp137 triliun. Peningkatan ini didorong oleh rencana pemerintah untuk mendorong investasi pemerintah khususnya untuk proyek-proyek yang tertunda pada tahun ini.
Adapun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diperkirakan belum akan melakukan ekspansi secara agresif pada tahun mendatang akibat kondisi ekonomi belum sepenuhnya pulih dan sebagian BUMN. Khususnya BUMN Karya yang memiliki liabilitas yang meningkat cukup tinggi, sehingga alokasi belanja modal mereka masih akan cenderung konservatif.
Namun, di tengah tren perlambatan investasi nasional selama pandemi, beberapa industri manufaktur di Indonesia justru mengalami peningkatan, khususnya industri logam dasar, kimia dasar, dan farmasi.
Peningkatan investasi tersebut, antara lain, disebabkan oleh rangsangan kebijakan pemerintah yang mendorong hilirisasi sektor pertambangan, termasuk pembangunan smelter.
“Selain itu, kebutuhan pengobatan dan pelayanan kesehatan yang meningkatkan akan mendorong peningkatan investasi pada industri kimia dan farmasi. Pertumbuhan sektor-sektor tersebut diperkirakan masih akan terus berlanjut pada 2021,” jelas CORE Indonesia dalam rilis tersebut.
Di sisi lain, ekspor diperkirakan tumbuh lebih tinggi pada tahun depan sejalan dengan pemulihan ekonomi global, termasuk negara-negara mitra dagang Indonesia.
Presiden terpilih Amerika Serikat, Joe Biden, diperkirakan akan menerapkan kebijakan-kebijakan yang cenderung bertolak belakang dengan kebijakan Donald Trump, di antaranya menurunkan tensi perang dagang dan hambatan perdagangan.
“Konsekuensinya, volume perdagangan dunia yang tertekan akibat konflik tersebut akan kembali meningkat, sehingga akan berdampak pada peningkatan ekspor Indonesia,” urainya.
Meskipun demikian, pertumbuhan impor diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor, sehingga surplus perdagangan diperkirakan akan menyempit pada 2021. Pemulihan ekonomi dalam negeri dan peningkatan permintaan ekspor akan mendorong peningkatan impor bahan baku/penolong dan barang modal.
“Impor migas juga diperkirakan kembali meningkat, mengikuti peningkatan harga minyak minyak dunia, yang dipicu oleh permintaan global terhadap sumber energi yang kembali mengalami rebound, meskipun akan relatif tipis mengingat masih tingginya tingkat persediaan minyak global dan surplus produksi minyak mentah,” tutup CORE Indonesia. (ATN)
Discussion about this post