ASIATODAY.ID, JAKARTA – Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) sejauh ini belum merespon insiden penembakan mati 6 pengikut Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab oleh aparat kepolisian. Padahal, kasus ini telah menjadi sorotan dunia internasional.
Saat berpidato pada momentum Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) se-Dunia, Presiden Jokowi lebih fokus pada upaya penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Presiden Jokowi pun memerintahkan Menko Polhukam Mahfud MD melanjutkan penyelesaian masalah HAM masa lalu yang hasilnya dapat diterima semua pihak.
“Kita harus bekerja sama menyelesaikannya dan mencurahkan energi kita untuk kemajuan bangsa. Melalui Menko Polhukam, saya telah menugaskan agar penyelesaian masalah HAM masa lalu terus dilanjutkan yang hasilnya bisa diterima semua pihak serta bisa diterima dunia internasional,” kata Presiden Jokowi dalam sambutannya secara virtual dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana ditayangkan di kanal YouTube Sekretariat Presiden, yang disaksikan di Jakarta, Kamis (10/12/2020).
Presiden menyampaikan pemerintah memiliki komitmen besar terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM yang merupakan pilar penting bagi Indonesia yang beradab, tangguh, dan maju. Pemerintah juga selalu berupaya untuk menuntaskan masalah HAM masa lalu secara bijak dan bermartabat.
Komitmen kuat pemerintah dalam penegakan HAM telah dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional HAM 2020-2025. Hak sipil, politik, ekonomi, sosial, serta budaya harus dilindungi secara berimbang dan tidak ada satupun yang terabaikan.
Sementara itu, di tengah pandemi saat ini, Kepala Negara mengatakan bahwa seluruh pihak harus terus bekerja keras untuk menghambat penyebaran virus, mengobati yang sakit, mencegah kematian, dan memberikan bantuan ekonomi bagi masyarakat kurang mampu yang terdampak.Bersamaan dengan itu, semua pihak juga harus menjaga agar pandemi tidak memperburuk upaya pemenuhan hak asasi masyarakat.
“Selain itu, kita masih menghadapi beberapa masalah yang harus kita selesaikan. Saya mendengar masih ada masalah kebebasan beribadah di beberapa tempat. Untuk itu saya minta agar aparat, pemerintah pusat, daerah, secara aktif dan responsif untuk menyelesaikan masalah ini secara damai dan bijak,” jelasnya.
Selain itu, Presiden juga meminta pembangunan infrastruktur didedikasikan sebagai prasarana untuk pemenuhan HAM dengan menjamin keterjangkauan hak mobilitas, kesehatan, pangan, dan kebutuhan dasar yang merata termasuk bahan bakar satu harga.
Demikian halnya dengan pembangunan sumber daya manusia yang berjalan dengan memastikan penurunan kasus stunting serta keterjangkauan pendidikan yang memadai, terutama di daerah-daerah terpencil dan pulau-pulau terluar.
“Saya juga memberikan perhatian khusus kepada saudara-saudara kita penyandang disabilitas. Kita telah membentuk Komisi Nasional Disabilitas dan berorientasi pada pendekatan hak asasi manusia,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Kepala Negara juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Komnas HAM dan para pegiat HAM yang terus aktif berperan dalam meningkatkan kesadaran HAM di tengah masyarakat sekaligus mengajak seluruh pihak untuk turut berperan aktif dalam menghormati hak-hak dan menjadi penanggung jawab atas terpenuhinya hak-hak pihak lain.
“Dengan meningkatkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM, kita menjadi bangsa yang lebih beradab, tangguh, dan maju,” ujar Presiden.
Sementara itu, desakan agar Presiden Jokowi segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terus menggelinding. Desakan paling keras disuarakan oleh politisi Partai Gerindra, Fadli Zon.
“Pertama, polisi saat ini harus dianggap sebagai pihak yang tengah ‘berperkara’, sehingga pengusutan masalah ini harus melibatkan pihak-pihak lain yang lebih independen,” tulis Fadli Zon melalui akun Twitternya, Kamis (10/12/2020).
Alasan kedua kata Fadli, saat ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian sangat rendah sehingga apapun yang dinyatakan oleh pihak kepolisian cenderung tidak dipercayai oleh publik.
Ketiga, tindakan extra-judicial killing terhadap warga sipil bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights), sehingga perlu ada upaya ekstra dalam proses pengusutannya.
“Tindakan pembunuhan di luar putusan pengadilan semacam itu tak boleh dilegitimasi oleh alasan apapun. Tindakan seperti itu dilarang, baik oleh hukum HAM internasional maupun oleh berbagai peraturan perundang-undangan di negeri kita,” tegas Fadli.
Fadli memandang, jika aparat kepolisian menilai ada pelanggaran yang dilakukan oleh 6 laskar FPI yang ditembak tersebut, seharusnya bisa diproses menurut ketentuan pidana yang berlaku.
Walhasil, tindakan extra-judicial killing oleh aparat, membuat 6 laskar tersebut jadi tak bisa diadili di sebuah pengadilan terbuka untuk membuktikan tuduhan yang disampaikan polisi.
Alasan keempat, Fadli melihat ada banyak sekali keganjilan dalam kasus tersebut dan hampir semua penjelasan yang disampaikan oleh aparat kepolisian sulit diterima akal sehat.
“Misalnya, disebutkan ada aksi tembak-menembak, tapi di mana tempat kejadian perkaranya? Mana bukti serangan terhadap aparat kepolisiannya? Bagaimana bisa satu mobil anggota FPI menyatroni tiga buah mobil yang ditunggangi aparat?” ujarnya.
Fadli pun mewanti-wanti pemerintah untuk segera merespon kasus ini karena bisa memunculkan asumsi di masyarakat yakni pemerintah mengalami islamofobia dan otorianisme baru. (ATN)
Discussion about this post