ASIATODAY.ID, JAKARTA – China dan Rusia sedang menunjukkan dominasinya sebagai negara dengan kekuatan militer hebat di dunia.
China dilaporkan akan meningkatkan anggaran pertahanan tahun ini menyusul ekonomi negeri itu yang sudah pulih dari pandemi Covid-19 dan ditambah lagi ketegangan militer yang meningkat.
Dengan virus corona yang menghantam ekonominya, China tahun lalu mengumumkan peningkatan 6,6 persen dalam pengeluaran pertahanan menjadi USD178 miliar, tingkat kenaikan terendah dalam tiga dekade.
Pemerintahan baru Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden bergerak cepat untuk mengingatkan Chna bahwa Amerika Serikat (AS) siap menandingi pengaruh dan kekuatan militer China yang berkembang di Asia-Pasifik.
Dalam beberapa pekan terakhir, armada kapal perang AS telah berlayar di dekat Taiwan yang diklaim China dan melalui wilayah yang disengketakan di Laut China Selatan. Aksi AS ini memicu kemarahan China.
“China menghadapi situasi keamanan paling parah sejak Perang Korea,” kata Ni Lexiong, pensiunan profesor di Universitas Ilmu Politik dan Hukum Shanghai seperti dikutip Reuters.
Dia memperkirakan kenaikan substansial dalam anggaran militer China, mengutip penjualan senjata AS ke Taiwan, penempatan reguler kapal induk AS di lepas pantai China, dan kehadiran kapal perang dan kapal selam nuklir Prancis baru-baru ini di Laut China Selatan.
“Melihat opini publik, menjadi lebih mendesak untuk mengambil kembali Taiwan secara militer. Makanya anggaran pasti naik tajam,” ujarnya.
Lebih besar dari yang dilaporkan
Ross Babbage, seorang analis di Pusat Penilaian Strategis dan Anggaran yang berbasis di Washington dan mantan pejabat pertahanan Australia, memperkirakan kenaikan bujet pertahanan China sekitar 7 persen.
“Itu kurang dari yang diperkirakan sebagian orang dan alasannya adalah ekonomi China masih belum dalam kondisi yang baik,” ujarnya.
Ekonomi China tumbuh hanya 2,3 persen pada tahun 2020, meskipun itu adalah satu-satunya ekonomi negara utama dunia yang tidak mengalami kontraksi, dan diperkirakan akan tumbuh 8,4 persen persen tahun ini, menurut jajak pendapat Reuters.
Kementerian Pertahanan China tidak menanggapi permintaan komentar soal anggaran pertahanan ini.
Banyak pakar Barat percaya pengeluaran militer nyata Beijing jauh lebih tinggi daripada angka resmi.
Pengeluaran militer China yang diterbitkan untuk 2019 mencapai USD174 miliar disesuaikan dengan inflasi, atau 1,3 persen dari PDB, menurut laporan tahunan Pentagon pada bulan September tahun lalu.
Itu tidak termasuk pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan serta pembelian senjata asing, dan Pentagon memperkirakan bahwa pengeluaran nyata pada 2019 bisa lebih dari USD200 miliar.
Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm memperkirakan China menghabiskan USD261 miliar untuk belanja militernya pada 2019.
Sementara, Amerika Serikat menghabiskan belanja militer USD732 miliar, atau sekitar 3,4 persen dari PDB pada tahun 2019.
Jika Beijing benar-benar mengumumkan kenaikan tajam, itu akan menandakan niat untuk meningkatkan operasi militer terhadap Taiwan atau menegaskan kedaulatan China atas wilayah sengketa lainnya di Laut China Selatan atau Laut China Timur, kata Babbage dan analis Barat lainnya.
Wang Xiangsui, pensiunan kolonel senior di Tentara Pembebasan Rakyat dan seorang profesor di Universitas Beihang di Beijing, mengatakan desas-desus tahun lalu bahwa Amerika Serikat sedang mempertimbangkan rencana untuk menggunakan drone MQ-9 untuk menyerang pulau atau terumbu di Laut China Selatan.
Ia menyebut “Kejutan Oktober” ini akan memberikan China rasa krisis yang lebih tajam tentang situasi keamanan. China bahkan menanggapi rumor itu dengan cukup serius untuk mencari klarifikasi resmi dari Pentagon dan kemudian mempublikasikan penolakan AS.
Wang mengatakan, langkah AS untuk membatasi akses China ke peralatan dan teknologi militer akan memaksa China untuk berinvestasi lebih banyak pada penelitian dan pengembangan lokal.
“Militer AS ingin mempertahankan keunggulannya yang luar biasa di bidang nuklir dan luar angkasa, dan China ingin mengacaukannya. Lebih banyak pengeluaran pasti dibutuhkan,” kata Wang.
Rusia Banjir Pesanan
Sementara itu, Badan Kerjasama Teknik Militer Rusia (SMTC) menyatakan, telah menerima sejumlah pesanan dari pelanggan asing untuk jet tempur multiperan berkemampuan siluman Su-57E.
“Permintaan atas Su-57E telah kami terima, meskipun tidak ada negara Timur Tengah di antara mereka. Namun demikian, pelanggan asing di kawasan ini juga menunjukkan minat terhadap pesawat ini,” kata juru bicara SMTC kepada TASS.
Sejatinya, prioritas utama adalah memasok jet tempur Su-57 ke Kementerian Pertahanan Rusia.
“Namun, kami siap untuk memulai pembahasan topik ini untuk kepentingan mitra asing kami,” ujarnya di sela-sela pameran persenjataan internasional IDEX-2021 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA) .
Su-57 adalah jet tempur multiperan generasi kelima yang dirancang untuk menghancurkan semua jenis target, baik udara, darat, maupun laut.
Jet tempur ini memiliki fitur teknologi siluman dengan penggunaan material komposit yang luas, mampu mengembangkan kecepatan jelajah supersonik.
Selain itu, Su-57 dilengkapi dengan peralatan radio-elektronik paling canggih, termasuk komputer onboard yang kuat yang disebut electronic second pilot.
Kemudian, sistem radar tersebar di seluruh tubuh Su-57 dan beberapa inovasi lain, khususnya, persenjataan yang ditempatkan di dalam badan pesawat.
Su-57 mengudara untuk pertama kalinya pada 29 Januari 2010. Dibandingkan dengan pendahulunya, Su-57 menggabungkan fungsi pesawat serang dan jet tempur dengan menggunakan material komposit dan teknologi inovasi.
Persenjataan jet tempur tersebut akan mencakup, khususnya, rudal hipersonik. Su-57 telah menjalani uji coba dalam kondisi pertempuran di Suriah. (ATN)
Discussion about this post