ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pencemaran lingkungan terhadap sungai-sungai di Indonesia kian mengkhawatirkan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 46 persen sungai di Indonesia dalam keadaan status tercemar berat, 32 persen tercemar sedang berat, 14 persen tercemar sedang dan 8 persen tercemar ringan.
Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pencemaran sungai disebabkan oleh berbagai faktor.
Peningkatan pertumbuhan penduduk dan percepatan ekonomi berdampak pada perairan darat (sungai). Pencemaran dan perubahan habitat di sekitar perairan mengakibatkan kerusakan ekosistem.
“Kita perlu mengembangkan suatu metode fisika, kimia, dan biologi untuk mengetahui kondisi perairan. Salah satunya dengan penggunaan organisme dalam studi toksisitas polutan di perairan,” kata Ocky Karna Rajasa, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI, dikutip dalam keterangan, Jumat (23/10/2020).
Ocky mengatakan, pemulihan kondisi perairan darat tidak hanya berorientasi pada pemenuhan vital manusia, tetapi juga berorientasi pada menjaga ekologi dan kesehatan ekosistem yang berkelanjutan.
“Pemanfaatan ecological tool atau perangkat ekologis dalam penilaian kesehatan perairan darat dapat dikaji dan dikembangkan lebih lanjut karena Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi,” jelasnya.
Peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI, Jojok Sudarso, mengatakan, penilaian kesehatan ekosistem sungai dengan indikator makrozoobentos mempunyai kelebihan dibandingkan ikan, perifiton, plankton dan bakteri.
“Tingkat mobilitas yang rendah menyebabkan makrozoobentos mudah mencerminkan kondisi kualitas perairan setempat. Selain itu, jumlah yang berlimpah di alam dan distribusi yang luas membuat oraganisme tersebut mudah di-sampling,” jelasnya.
“Indikator makrozoobentos penting digunakan untuk pemantauan kualitas ekosistem sungai karena merupakan komponen penting dalam rantai makanan,” tambahnya.
Lebih jauh Jojok memaparkan, bioindikator merupakan alat untuk mengetahui dampak dari perubahan lingkungan sebelum dampak yang lebih besar terjadi maupun evaluasi untuk keberhasilan program pengelolaan lingkungan.
“Pengembangan bioindikator perlu disesuaikan dengan kondisi ecoregion setempat dan perlu integrasi dengan pengukuran kimia, fisika, dalam pengendalian dan pencegahan kerusakan ekosistem akuatik,” imbuh Jojok.
Pada kesempatan yang sama, Gunawan Pratama Yoga, Peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI, menjelaskan, kajian toksisitas bahan pencemar terhadap biota perairan darat penting dilakukan untuk menilai resiko keberadaan pencemar sumber daya hayati perairan darat.
“Melalui kajian toksisitas dapat diketahui nilai ambang batas suatu bahan pencemar yang dapat ditolerir oleh biota perairan darat,” tutur Yoga.
“Kajian toksisitas terhadap biota-biota endemik di Indonesia penting dilakukan untuk mengetahui tingkat toleransinya dalam menerima beban pencemar yang semakin tinggi di perairan darat Indonesia, sehingga kelestariannya dapat terjaga,” pungkas Yoga. (ATN)
Discussion about this post