ASIATODAY.ID, YERUSALEM – Setelah gagal menjalankan rencana aneksasi Tepi Barat Palestina dan Yordania, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu tak kehabisan rencana.
Kali ini, Benjamin mengalihkan fokus untuk memperluas kawasan permukiman ilegal.
Netanyahu dilaporkan mengincar daerah yang dapat menghubungkan permukiman ilegal Ma’ale Adumim yang besar dengan Yerusalem Barat.
Netanyahu tampaknya berniat memuaskan kelompok sayap kanan di Israel dengan memperluas wilayah permukiman kontroversial di timur Yerusalem Timur. Jika rencana itu dilakukan maka akan menghancurkan setiap kemungkinan solusi dua negara untuk perdamaian dengan Palestina.
Biro Nasional Pembela Tanah dan permukiman Penentang Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyatakan dalam laporan mingguannya pada Senin (10/8) lalu bahwa pemerintah Israel berupaya membangun ribuan unit permukiman di tanah al-Tur, Anata, al-Eizariya, dan Abu Dis desa-desa di area E1 (East 1) dalam proyek permukiman Yerusalem yang lebih besar.
“Ini akan menutup sepenuhnya wilayah timur Yerusalem dan mengepung wilayah Anata, Al-Tur, dan Hizma. Proyek permukiman akan menghubungkan semua permukiman di wilayah timur dan di luar batas Kota Pendudukan Israel di Yerusalem dengan permukiman lain di Moshe Laion. Dengan demikian, desa-desa Arab terkepung dan mencaplok wilayah yang luas di Tepi Barat ke perbatasan Yerusalem,” kata laporan itu, dilansir dari Al Monitor, Kamis (13/8/2020).
Langkah Israel itu segera mendapat tanggapan. Uni Eropa bersama 15 negara Eropa menyerahkan surat pada 6 Agustus kepada Kementerian Luar Negeri Israel yang memprotes pembangunan permukiman di Givat Hamatos di area E1.
Eropa menolak rencana Israel untuk memajukan rencana konstruksi di wilayah Yerusalem di luar Garis Hijau. Mereka menjelaskan bahwa aktivitas di wilayah permukiman tidak akan ditoleransi.
“Permukiman itu ilegal menurut Hukum Humaniter Internasional. Setiap pembangunan permukiman lebih lanjut di daerah yang sensitif secara strategis ini akan memiliki dampak yang menghancurkan pada Negara Palestina yang berdekatan, serta sangat merusak kemungkinan solusi dua negara yang dinegosiasikan sejalan dengan parameter yang disepakati secara internasional,” demikian isi nota keberatan Uni Eropa.
15 negara yang menandatangani nota itu adalah Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, Inggris, Belgia Denmark, Finlandia, Irlandia, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Slovenia, dan Swedia.
Anggota Komite Eksekutif PLO, Hanan Ashrawi, mengingatkan masyarakat dunia tentang komitmen yang dibuat oleh AS untuk memastikan permukiman Israel segera diatasi. Dalam serangkaian kicauan di Twitter pada 7 Agustus, Ashrawi mengutip surat jaminan AS tahun 1991 bahwa bahwa permukiman adalah “penghalang bagi perdamaian”.
Sementara itu, Josh Mitnick, koresponden asing yang berbasis di Tel Aviv mengatakan kepada Al-Monitor bahwa keputusan pembangunan permukiman di wilayah E1 kemungkinan taktik Netanyahu untuk mengalihkan perhatian publik dari pandemi dan krisis ekonomi di Israel, ketika koalisinya mulai melemah.
“Ini juga mungkin berfungsi sebagai pengingat bagi basis sayap kanannya bahwa dia masih merupakan kesempatan terbaik mereka untuk memastikan kendali berkelanjutan Israel atas seluruh wilayah yang diduduki di West Bank,” ujarnya.
Menurut organisasi hak asasi manusia Israel B’tselem, rencana pembangunan permukiman induk E1 disetujui pada 1999. Ini mencakup sekitar 1.200 hektare tanah yang sebagian besar di antaranya dinyatakan Israel sebagai tanah negara dalam prosedur yang meragukan secara hukum.
Selama 1990-an, tanah-tanah ini dijadikan bagian dari yurisdiksi permukiman Ma’ale Adumim, sehingga sekarang luasnya sekitar 4.800 hektare.
Rencananya, kawasan yang dikenal sebagai East 1 atau E1, akan memotong bagian utara Tepi Barat dari bagian selatan dan menimbulkan hambatan besar bagi pembentukan negara Palestina.
Pelaksanaan rencana konstruksi di E1 akan menciptakan blok kota antara Ma’ale Adumim dan Yerusalem, memperburuk isolasi Yerusalem Timur dari sisa Tepi Barat dan mengganggu persentuhan teritorial antara bagian utara dan selatan Tepi Barat.
Sementara para pejabat Israel terus berdebat, tidak ada diskusi yang berfokus pada hukum internasional atau hak-hak rakyat Palestina. Impunitas Israel terus berlanjut terutama karena sikap apatis Amerika Serikat dan ketidakmampuan seluruh dunia menghadapi pelanggaran yang dilakukan Israel. (ATN)
Discussion about this post