ASIATODAY.ID, JAKARTA – Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) mendorong negara-negara di Asia Tenggara untuk memperluas investasi infrastruktur digital seiring upaya pemulihan dari pandemi Covid-19. ADB juga berharap adanya kepastian akses yang adil terhadap teknologi.
Menurut Presiden ADB Masatsugu Asakawa, banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai dua poin tersebut, diantaranya, membangun lebih banyak jaringan pita lebar dengan kualitas lebih tinggi serta memastikan akses dan cakupan internet dengan harga terjangkau.
Masatsugu menjelaskan, langkah-langkah tersebut juga dapat meningkatkan akses ke layanan sosial dasar, seperti kesehatan dan pendidikan, serta akses ke layanan keuangan.
“Investasi semacam itu akan membuat negara-negara lebih siap untuk mengatasi ketimpangan pendapatan dan disparitas peluang akibat pandemi,” ujarnya dalam pidato utama pada Simposium Pembangunan Asia Tenggara (Southeast Asia Development Symposium) secara virtual, Rabu (21/10/2020).
Poin itu menjadi satu dari lima bidang kebijakan penting yang disebutkan Masatsugu sebagai kebijakan penting untuk mendukung perekonomian negara berkembang di Asia Tenggara. Langkah ini dinilainya dapat membantu negara kembali ke jalur Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Simposium Pembangunan Asia Tenggara bertujuan memberikan beragam perspektif terbaru kepada pemerintah dan para pemangku kepentingan lain tentang sejumlah persoalan pembangunan yang sangat penting.
Sejalan dengan upaya negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk merespons Covid-19, simposium pertama ini berfokus untuk memberi dukungan pengetahuan dalam penanganan dampak ekonomi dan sosial akibat pandemi.
Selain menyoroti kesenjangan digital, Masatsugu juga menekankan pentingnya memfasilitasi pemulihan ekonomi hijau, dengan mendorong investasi yang menggerakan kegiatan perekonomian menuju praktik-praktik rendah karbon dan berdaya tahan.
Kebijakan penting berikutnya, memperkuat kerja sama dan integrasi regional dengan meningkatkan konektivitas digital lintas batas negara, sistem pabean elektronik (e-customs), dan sistem pelacakan kargo elektronik.
Selain itu, Masatsugu menuturkan penting untuk memperdalam kapasitas kelembagaan untuk memobilisasi sumber daya domestik. “Ini guna membiayai layanan publik, sambil memastikan keberlanjutan utang,” ujarnya.
Terakhir, menginkubasi, mengembangkan, dan mengumpulkan usaha kecil dan menengah (UKM) dengan kewirausahaan dan teknologi. Hal ini harus didukung oleh ekosistem keuangan, akademis, dan dunia usaha yang disatukan guna membantu menyiapkan pertumbuhan berbasis teknologi.
Dalam penutupnya, Masatsugu mengungkapkan optimismenya terhadap teknologi digital yang bisa menjadi kunci dalam pemulihan Asia Tenggara dari pandemi Covid-19.
“Mari kita lakukan upaya-upaya untuk mengarusutamakan penggunaan teknologi digital lintas sektor,” imbuhnya.
Tantangan Transformasi Digital di Indonesia
Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pandemi Covid-19 yang menyebabkan perekonomian terpukul menunjukkan pentingnya penerapan dan transformasi teknologi.
Untuk menahan laju penularan Covid-19, penerapan pembatasan sosial harus diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia. Hal ini membuat mobilitas masyarakat dan aktivitas dunia usaha terhenti.
Namun demikian, aktivitas bisnis yang berhasil menerapkan digitalisasi akan mampu bertahan di masa pandemi ini. Pandemi Covid-19 pun telah memaksa akselerasi transformasi digital.
Merujuk pada penelitian Centre for Strategic and International Studies (CSIS), hanya 1 dari 5 usaha yang bisa beralih ke usaha berbasis teknologi, sementara sisanya tidak bisa beralih.
Menurut Sri Mulyani, hal ini masih menjadi tantangan bagi pembuat kebijakan untuk bagaimana meresponi peluang dari penerapan teknologi baru, juga mengatisipasi risiko dari teknologi baru tersebut.
“Untuk mendukung digitalisasi, kita perlu memperhatikan empat usaha yang tidak bisa beralih ke basis teknologi dan menyediakan platform untuk mengimbangi transformasi ini,” katanya dalam video conference Southeast Asia Development Symposium (SEADS), Rabu (21/10/2020).
Dia menyampaikan, meski terjadi akselerasi digitalisasi, akses internet masih tergolong barang mewah bagi sebagian orang dan wilayah. Hal ini juga mempengaruhi keberhasilan dari penerapan pelayanan publik.
Sri Mulyani mencontohkan pemerintah telah mengakomodasi sekolah jarak jauh secara daring yang mulai diterapkan sejak awal pandemi merebak di Indonesia, namun tidak semua siswa memiliki akses internet.
Demikian juga dengan dunia usaha, banyak usaha mikro dan kecil, terutama di daerah terpencil belum bisa mengakses teknologi tersebut karena adanya kesenjangan akses internet.
“Ini masalah yang masih kita hadapi di negara-negara ASEAN. Di satu sisi kita harus mengambil peluang di momentum krisis ini, tapi kita juga harus bekerja keras mengisi kesenjangan ini,” tuturnya.
Pemerintah Indonesia kata Sri Mulyani, telah mengupayakan mengatasi kesenjangan ini, misalnya dengan pemberian subsidi listrik untuk 40 persen penduduk terbawah dan menyediakan internet gratis untuk siswa, guru, serta pendidikan tinggi.
Selain itu, pemerintah juga mendukung transisi usaha mikro dan kecil dalam mengimplementasikan transformasi digital agar usaha-usaha tersebut bisa beradaptasi dengan model bisnis baru.
Pemerintah pun mengembangkan banyak inisiatif untuk memanfaatkan peluang digitalisasi ini. Melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah telah meluncurkan gerakan 1.000 start-up yang mendorong pembentukan start-up baru berbasis TI hingga 2024.
Sri Mulyani menambahkan, pemerintah juga mendukung penuh pengembangan unicorn dan decacorn melalui program pengembangan SDM sejalan dengan pengembangan infrastruktur. (ATN)
Discussion about this post