ASIATODAY.ID, JAKARTA – Satu persatu perusahaan di Singapura mulai berguguran karena bangkrut.
Pasalnya, saat ini sedang terjadi kenaikan pada pengajuan perlindungan kebangkrutan di negara itu, dengan jumlah permohonan hingga bulan November 2022 sudah melebihi total tahun lalu.
Laporan CNA, Jumat (23/12/2022), setidaknya sudah 3.380 orang di Singapura yang telah mengajukan perlindungan kebangkrutan sepanjang tahun 2022 ini, lebih banyak dari dua tahun terakhir selama pandemi.
Namun, jumlah pengajuan tersebut masih di bawah tingkat yang diamati pada tahun 2019, sebelum datangnya pandemi, menurut laporan CNA.
Analis menyebut, meningkatnya jumlah kebangkrutan di Singapura disebabkan oleh sejumlah faktor, salah satunya ketidakpastian ekonomi global ketika memasuki pemulihan dari Covid-19.
Direktur Center for Governance & Sustainability di National University of Singapore Business School, Profesor Lawrence Loh mengatakan bahwa dunia baru saja keluar dari pandemi Covid-19, jadi ada “efek kumulatif dari perlambatan dan banyak langkah dukungan yang berakhir”.
“Pada saat yang sama, masalah yang lebih besar sebenarnya ada di global, di mana ada beberapa indikasi perlambatan, bahkan inflasi yang mengarah pada kenaikan suku bunga, sehingga semua ini secara kolektif menambah tantangan,” sambungnya.
Menurut mitra di firma hukum Singapura IRB Law, yakni Anand George, sebagian besar pengajuan perlindungan kebangkrutan terdiri dari pemilik usaha kecil dan menengah. Firma hukumnya bahkan telah menangani sekitar 50 kasus kebangkrutan.
Dikatakan bahwa bisnis tertentu, seperti yang ada di industri makanan dan minuman sangat terpengaruh oleh pandemi.
“Saya pikir beberapa bisnis mencoba membiayai kembali pinjaman, atau mereka akan berusaha mencegah kebangkrutan selama periode itu,” kata George.
“Tapi mereka sudah memiliki model bisnis yang tidak berkelanjutan. Maka yang terjadi adalah setelah moratorium dicabut, terjadi peningkatan permohonan pailit,” ungkapnya.
Laporan CNA melanjutkan, Data Kementerian Hukum Singapura juga menunjukkan bahwa masyarakat kini semakin sulit melunasi utang mereka.
Data itu mengungkapkan, kurang dari 1.000 orang di Singapura telah dibebaskan dari kebangkrutan sepanjang tahun ini, yang berarti utang telah dilunasi atau kreditor telah menerima tawaran penyelesaian.
George menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menentukan apakah seorang pailit bisa dibebaskan atau tidak tergantung pada status pekerjaan individu dan keadaan keuangan pribadinya.
“Saya pikir yang juga sama relevannya, adalah besarnya utang yang kita bicarakan pada saat individu tersebut dibuat bangkrut,” ujarnya
“Tentu saja jika utangnya lebih besar, butuh waktu lebih lama sebelum perintah pelepasan pailit diberikan,” tambah George. (ATN)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post