ASIATODAY.ID, JAKARTA – Kalangan masyarakat dan aktivis lingkungan di Belitung Timur mendesak pemerintah daerah dan pemerintah pusat agar segera bertindak, mencegah bencana ekologi yang saat ini mengancam Geosite Tebat Rasau dan Sungai Lenggang.
Menurut Ketua Yayasan Tarsius Center Indonesia Budi Setiawan, gejala bencana ekologi yang mengancam geoprak sudah terlihat dengan terjadinya kekeringan ekstrem di daerah itu. Pasalnya, aliran sungai telah mengering yang diduga kuat diakibatkan oleh aktivitas penambangan timah.
“Saat ini masyarakat Belitung sedang euforia menyambut rencana penetapan Geosite Geopark Belitung menjadi UNESCO Global Geopark. Namun kami sedih, karena pada saat yang sama, masyarakat juga menyaksikan aktivitas perusakan lingkungan dan itu mengancam kepunahan mega-biodiversity sungai Lenggang dan Geosite Tebat Rasau,” terang Budi Setiawan, melalui keterangan persnya, Jumat (26/7/2019).
Yayasan Tarsius Center Indonesia yang dipimpin Budi, tercatat sebagai lembaga yang aktif menjadi pendamping komunitas masyarakat Tebat Rasau di Desa Lintang, Kecamatan Simpang Renggiang, Belitung Timur.
Budi menjelaskan, berdasarkan pengamatan Yayasan Tarsius, kondisi ekologi di daerah itu mengalami perubahan drastis. Pada bulan Juni 2019 lalu, debit air di sungai Lenggang dan Tebat Rasau masih normal, bahkan ketinggian air berada dikisaran 1,5 meter. Namun, kondisi itu berubah drastis saat ini.
“Terhitung sejak 15 Juli 2019, terjadi kekeringan ekstrem dan berlangsung sangat cepat melanda sungai Lenggang, khususnya di bagian hulu, termasuk di dalamnya Geosite Tebat Rasau,” jelasnya.
Kasus kekeringan yang terjadi di daerah itu kata Budi, memang pernah terjadi namun saat kemarau panjang. Namun kekeringan saat ini, lebih disebabkan oleh kerusakan ekologi di wilayah itu. Selain penambangan, pemicu kekeringan juga diduga kuat karena dibukanya pintu air Bendungan Pice.
“Hal itu yang kemudian menyebabkan banyak ikan, udang, dan berbagai biota air lainnya tidak sempat bermigrasi atau berpindah. Mereka terjebak dan mati mengering,” imbuhnya.
Berdasarkan fakta yang ditemukan Yayasan Tarsius, asal dari bencana ini diduga kuat akibat penambangan timah di badan sungai yang mengotori sungai dan air baku PDAM. Untuk menghindari limpahan air sungai ke air baku serta mengurangi kejenuhan air akibat pencemaran itulah pintu air bendungan kemudian dibuka.
“Namun dampaknya, ketahanan air di atas Bendungan Pice hingga hulu sungai terbuang dengan sangat cepat,” jelasnya.
Menurut Budi, jika situasi ini dibiarkan terus terjadi, tidak hanya ekologi yang rusak, akan tetapi kehidupan ribuan orang di sepanjang sungai juga akan terancam.
“Demikian pula kekayaan biodiversity Sungai Lenggang hingga Geosite Tebat Rasau, semuanya terancam hilang,” jelasnya.
SUNGAI PURBA
Sungai Lenggang merupakan sungai purba terluas di Pulau Belitung yang terbentuk pada zaman Kenozoikum. Sungai ini dipercaya terhubung dengan sungai-sungai di Kalimantan dan Sumatera Timur, hingga akhirnya mengalir ke Laut Cina Selatan pada zaman Sumdaland.
Realitas itulah yang membuatnya ditetapkan sebagai Geosite Geopark Belitung, dan sekarang menuju ditetapkan menjadi UNESCO Global Geopark.
Sungai Lenggang, menurut Budi Setiawan, merupakan rumah bagi ratusan spesies ikan, termasuk ikan arwana, ikan ampong, dan ikan buntal air tawar, serta beragam binatang lainnya. Sungai ini juga menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai.
“Kalau tidak segera diambil tindakan, bisa dipastikan nasib jutaan flora dan fauna, terutama biota air yang tinggal di dalamnya akan punah,” tegasnya.
Budi bercerita, kekeringan ekstrem yang hari-hari ini melanda sungai Lenggang dan Geosite Tebat Rasau juga menjadi ironis. Pasalnya, belum genap sebulan assesor dari UNESCO Global Geopark berkunjung ke Belitung. Mereka menyaksikan legenda dan fakta luar biasa tentang sungai Lenggang yang begitu purba dan tempat mega-biodiversity yang masih terjaga.
Selain itu, belum juga genap sebulan Budi mendampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar menghadiri Global Biodiversity Conference di Norwegia, yang dihadiri para pemimpin dunia, tepatnya 3-5 Juli 2019.
“Di sana kita bangga bercerita tentang mega-biodiversity Geosite Belitung. Juga kisah heroik teman-teman Komunitas Tebat Rasau yang berhasil menjaga sungai dan hutan dari gempuran perkebunan sawit, hutan tanaman industri, penambangan dan upaya perusakan lingkungan lainnya,” keluhnya.
Baginya, kondisi ini sangat ironis karena geosite yang membanggakan itu saat ini justru terancam. Kerusakan bahkan kehancuran, lingkungan sudah nyata terjadi didepan mata.
“Itu semua karena efek samping dari tambang timah di badan sungai yang telah memporak-porandakan lingkungan dan mencemari air baku PDAM, sehingga mendorong dibukanya pintu air Bendungan Pice. Negara harus menghentikan ini,” tandasnya. (Lis/AT)
,’;\;\’\’
Discussion about this post