ASIATODAY.ID, LONDON – Raksasa migas global British Petroleum (BP) melaporkan kerugian bersih senilai USD20,3 miliar atau sekitar Rp 285 triliun untuk periode 2020, terlepas dari laba kuartal keempat. Hal ini diakibatkan adanya pandemi Covid-19 yang merusak permintaan energi global.
Kerugian tersebut sangat kontras dengan laba bersih USD4,0 miliar yang tercatat untuk 2019. Perwakilan BP mengatakan sektor minyak telah terpukul oleh dampak krisis Covid-19.
Perusahaan yang terdaftar di Bursa London itu mengatakan, kerugian didorong oleh jatuhnya harga minyak dan gas, serta secara signifikan ada penurunan nilai dan penghapusan eksplorasi selama tahun yang penuh gejolak untuk industri energi.
Namun pada kuartal IV-2020, laba bersih mencapai USD1,36 miliar setelah BP menjual bisnis petrokimia kepada rivalnya, perusahaan swasta Ineos, pada harga USD5 miliar.
BP berencana memberhentikan sekitar 10.000 pekerjaan atau 15 persen dari tenaga kerja globalnya sebagai bagian dari efisiensi yang berakhir pada 2021. Perusahaan juga mulai melepas aset besar setelah virus corona memicu penurunan besar dari nilai aset.
“Tahun 2020 akan selamanya dikenang karena rasa sakit dan kesedihan yang disebabkan oleh Covid-19. Banyak nyawa hilang, mata pencaharian hancur. Sektor kami juga terpukul keras,” kata Kepala Eksekutif BP Bernard Looney dalam sebuah pernyataan, Selasa (2/2/2021), dikutip dari AFP.
Ia mengatakan, perjalanan darat dan udara turun, begitu pula permintaan minyak, harga dan margin. Tahun lalu juga merupakan tahun yang penting bagi perusahaan yang berambisi bebas emisi (net zero).
BP juga menetapkan strategi baru untuk menjadi perusahaan energi terintegrasi dan menciptakan bisnis pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai di Amerika Serikat (AS).
“Kami terpaksa menciptakan kembali BP -dengan hampir 10.000 orang meninggalkan perusahaan. Kami memperkuat keuangan kami, memotong biaya, dan menutup divestasi besar,” jelas Looney.
Pada Senin kemarin, perusahaan mengumumkan penjualan 20 persen sahamnya di Blok 61 ladang gas Oman ke PTTEP yang dikendalikan negara Thailand senilai USD2,6 miliar. BP akan mempertahankan 40 persen kepemilikan dan terus mengoperasikan blok tersebut.
Di bawah Looney, yang mengambil alih kendali di BP setahun yang lalu saat pandemi mulai menguasai, Grup BP ingin mengumpulkan USD25 miliar dari penjualan aset pada 2025.
Setelah perusahaan di seluruh dunia menutup pintu dan maskapai penerbangan melarang penerbangan menjelang akhir kuartal pertama tahun lalu, harga minyak turun drastis, bahkan menjadi negatif pada satu titik. Harga kemudian rebound tajam dan saat ini diperdagangkan di atas US$ 50 per barel.
Antisipasi Pemulihan Permintaan
Beralih ke prospek, BP memperkirakan pemulihan permintaan minyak tahun ini. Tetapi pihaknya juga memperingatkan hal ini akan bergantung pada peluncuran vaksin dan tindakan oleh pemerintah dan individu di seluruh dunia.
“Permintaan minyak diperkirakan pulih pada 2021. Kecepatan dan tingkat pertumbuhan bergantung pada peluncuran vaksin dan tindakan yang diberlakukan pemerintah maupun individu di seluruh dunia,” kata BP.
Namun, BP mencatat pembatasan Covid-19 akan memiliki dampak material pada divisi hilirnya pada kuartal pertama 2021.
“BP akan terus meninjau semua tindakan dan menanggapi setiap perubahan lebih lanjut dalam kondisi pasar yang berlaku,” tambahnya.
Satu tahun lalu, Looney meluncurkan rencana ambisius bagi BP untuk mencapai emisi karbon nol bersih pada 2050. Sementara perusahaan berusaha mengimbangi penurunan produksi minyak dan gas dengan output yang lebih besar dari sumber energi berkelanjutan, seperti listrik dan tenaga angin.
Pada September 2020, BP memasuki pasar tenaga angin lepas pantai dalam hubungan AS dengan rekan Norwegia Equinor.
BP setuju untuk membayar Equinor sebesasr USD1,1 miliar untuk kepentingan pengembangan angin di lepas pantai New York dan Massachusetts, sambil mengejar proyek AS lainnya bersama. Hingga saat ini BP hanya mengoperasikan aset angin darat, sebagian besar di AS. (ATN)
Discussion about this post