ASIATODAY.ID, JAKARTA – Proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Inalum-Antam di Mempawah, Kalimantan Barat jadi sorotan keras dari Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI).
Pasalnya, progres pembangunan smelter tersebut lambat dan tidak sesuai target bahkan terhambat. Perselisihan antara EPC kontraktor dalam hal ini Chalieco, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) asal China dan PT PP (Persero) Tbk, BUMN Indonesia, disebut menjadi penyebab terhambatnya pelaksanaan proyek berkapasitas 1 juta ton alumina tersebut.
“Komisi VII DPR RI mendesak Dirut PT Inalum dan Dirut PT Antam Tbk untuk segera menyelesaikan dispute mengenai pekerjaan konsorsium kontraktor proyek yaitu Chalieco dan PTPP paling lambar tanggal 30 April 2022,” ungkap Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman Abdurrahman saat membacakan kesimpulan rapat, Senin (21/3/2022).
Komisi VII DPR RI mengingatkan, jika masalah ini tidak terselesaikan maka Komisi VII akan merekomendasikan terminasi kontrak untuk dilakukan. Selain itu, PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) diminta untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja konsorsium. Evaluasi ini harus disampaikan hasilnya paling lambat pada 28 Maret 2022.
Smelter yang direncanakan berkapasitas 1 juta ton ini direncanakan akan mengatasi permasalahan impor. Bahkan, Indonesia berpotensi mengekspor 500 ribu ton alumina nantinya.
Sayangnya, proyek yang ditargetkan beroperasi pada Juli 2023 ini mengalami keterlambatan. Proyek ini baru mencapai 13,78% dari rencana 71,73% sesuai jadwal yang ada.
“Progres fisik sampai 28 Februari baru 13,78 persen. Sedangkan progres pembayaran sekitar 15,95 persen,” kata Direktur Utama PT Borneo Alumina Indonesia Dante Sinaga, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI.
Padahal, Dante menyebutkan untuk pembebasan telah dilakukan sebanyak 97,36 persen.
Ia menjelaskan, terdapat isu dan kendala yang menyebabkan tersendatnya Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut.
Isu pertama, adanya dispute dalam internal kontraktor EPC. Kontraktor EPC dalam proyek ini adalah Chalieco, BUMN asal China dan PT PP (Persero) Tbk. Oleh karena itu, pengerjaan yang dilakukan keduanya hingga saat ini baru sebatas pembayaran down payment (DP) sebesar 10 persen.
“Sampai saat ini final konsorsium agreement belum mereka tandatangani. Ada hal yang belum mereka sepakati sehingga itu membuat proyek ini lambat sekali majunya,” ungkapnya.
Pihak PT Borneo Alumina Indonesia, yang merupakan perusahaan patungan antara PT Inalum (Persero) dan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk pun sudah melakukan mediasi dengan melibatkan high level PT PP dan Chaileco untuk mencari jalan keluar, salah satunya adalah opsi perubahan division of responsibility.
Isu kedua adalah terkait kondisi tanah lunak di lokasi red mud stockyard. Red mud adalah limbah sisa dari produk refinery alumina. Lokasi tersebut harus dipindahkan agar biaya yang dikeluarkan sesuai dengan anggaran.
“Konsorsium meminta kepada owner meminta relokasi red mud ini ke tanah yang lebih keras. Sehingga bujet bisa terpenuhi,” pungkasnya.
Seperti diketahui, nilai proyek ini sebesar USD831,5 juta. Proyek ini ditargetkan selesai pada Juli 2023. (ATN)
Discussion about this post