ASIATODAY.ID, JAKARTA – Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan keputusan pemerintah mempercepat larangan ekspor bijih nikel demi untuk menciptakan nilai tambah.
Luhut mengakui memang akan ada potensi yang hilang dari larangan ekspor nikel mentah mencapai USD600 juta. Namun apabila telah diolah menjadi barang seperti stainless steel, lithium baterai dan lain sebagainya, maka nilai tambahnya bisa mencapai 20 kali lipat.
Menurut Luhut, saat ini saja ekspor nikel yang telah diolah dan menciptakan daya tambah telah mencapai USD5,8 miliar. Artinya, meskipun ada potensi kehilangan dari larangan ekspor dalam bentuk bijih, Indonesia akan mendapatkan yang lebih besar jika nikel yang diekspor terlebih dahulu diolah menjadi barang bernilai tambah.
“Seperti sekarang pemerintah sudah melarang ekspor nikel ore tujuannya supaya ada nilai tambah. Nanti nilai tambahnya bisa USD6 miliar dan nanti pada ujungnya lebih dari angka itu,” jelas Luhut di Auditorium BPPT, Jakarta Pusat, Senin (2/9/2019).
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi mempercepat larangan ekspor bijih nikel kadar rendah dari sebelumnya dilakukan mulai 1 Januari 2022 menjadi 1 Januari 2020. Artinya batas waktu perusahaan nikel untuk bisa mengekspor nikel mentah hingga 31 Desember 2019.
“Segala sesuatu yuang berhubungan dengan nikel raw material akan berakhir pada Desember 2019. Kita berikan kesempatan bagi yang sudah dapat izin (ekspor) sampai 1 Januari 2020,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Bambang Gatot Ariytono.
Bambang menjelaskan ada tiga alasan yang melatarbelakangi percepatan larangan ekspor tersebut. Pertama melihat jumlah cadangan dan rekomendasi ekspor yang sudah sangat besar. Bambang mengatakan cadangan terbukti mencapai hampir 700 juta ton dan cadangan sekitar 2,8 miliar ton.
“Tambang cadangan terkira harus dilakukan penelitian eksplorasi lebih detail lebih jauh supaya terbukti. Dengan cadangan itu, kita harus berfikir harus berapa lama kalau selama ini kita berikan izin untuk ekspor,” jelas Bambang.
Selain itu, rekomendasi ekspor yang telah diberikan sejak 2017 hingga Juli 2019 mencapai 76 juta ton dan realisasinya sebesar 38 juta ton.
Kedua terkait dengan kemajuan teknologi diyakini dapat mengolah nikel kadar rendah menjadi komponen yang berguna untuk membangun baterai. Hal ini dilakukan dalam rangka mendukung percepatan pengembangan mobil listrik.
Ketiga pembangunan fasilitas pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) yang dinilai sudah cukup banyak. Bambang menyebutkan ada 36 smelter nikel. Dari jumlah tersebut 11 smelter telah beroperasi dan 25 lainnya masih progres pembangunan.
“Maka pemerintah mengambil inisiatif untuk menghentikan ekspor nikel dalam segala kualitas. Kalau dulu di bawah 1,7 persen yang (masih boleh) diekspor,” tandas Bambang. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post