ASIATODAY.ID, JAKARTA – Dewan Energi Nasional (DEN) tengah fokus mengakselerasi transisi energi di Indonesia.
Salah satu yang menjadi perhatian besar terkait dengan investasi. Pasalnya, saat ini investasi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih sangat mahal.
Karena itu, DEN mendorong lahirnya inovasi teknologi sehingga investasi energi terbarukan menjadi lebih murah.
“Saat ini, investasi di energi terbarukan masih mahal dan kita belum sepenuhnya lepas daripada energi fosil. Tantangannya, bagaimana menciptakan inovasi teknologi agar investasi energi terbarukan menjadi lebih murah,” kata Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha dalam perbincangan dengan Asiatoday, belum lama ini.
Menurut Satya, sejauh ini terobosan yang sudah terlihat di energi terbarukan dari energi surya. Hanya masalahnya, matahari tidak sepenuhnya tersedia sepanjang waktu.
“Harus diingat matahari itu hanya ada siang hari, kalau tidak ada mataharinya maka tidak bisa menghasilkan energi dan harus digantikan energi fosil. Berarti dia perlu baterai untuk menyimpan energi. Itulah yang membuat energi matahari menjadi mahal,” ujar mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI ini.
Satya memandang, energi surya dapat bersaing dengan energi fosil karena harganya sangat murah. Bila dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) kata Satya, mungkin harganya bisa 4 sen atau 5 sen di bawah harga dari bahan batubara.
“Tetapi begitu cuaca mendung berarti dia harus ada yang disimpan. Ini yang membuat energi terbarukan harus mampu berkompetisi dengan fosil karena tidak stabil maka itu yang disebut dengan intermiten (berselang-seling),” jelasnya.
Kendala serupa, lanjut Satya, terjadi pada energi angin. Angin juga tidak stabil. Bila tidak ada angin tidak ada juga yang bisa mengerahkan turbin.
“Kalau tidak ada anginnya siapa yang bisa memutar baling-baling. Kasus yang di Sidrap di saat tidak ada angin terpaksa dibantu diesel untuk memutar kincir,” ujarnya.
Karena itu ujar Satya, di luar negeri mereka melakukan kombinasi energi terbarukan dengan energi fosil.
Karena Indonesia berkomitmen dengan sejumlah perjanjian untuk mengurangi efek rumah kaca dan net zero emission, maka DEN menganjurkan pengusaha untuk mengombinasikan energi terbarukan dengan gas.
“Karena gas itu relatif lebih bersih dibandingkan menggunakan diesel atau batubara,” katanya.
Di California, Amerika Serikat, kata Satya, energi terbarukan dikombinasikan dengan energi panas bumi.
“Saya sudah pernah ke sana melihat langsung bagaimana caranya agar stabil kombinasinya antara energi angin dibantu energi panas bumi. Jadi kalau posisi angin kurang, maka didorong energi panas bumi untuk menggerakkan turbin,” ujarnya.
Kendati investasi energi terbarukan masih mahal, Satya optimistis Indonesia ke depan bisa sepenuhnya menggunakan energi hijau atau energi ramah lingkungan.
“Kita optimis, karena kita ini kan panjang, mudah-mudahan pada waktu berjalannya waktu ada satu teknologi yang akan lebih kompetitif,” ujarnya.
Dalam masa transisinya ini, lanjut Satya, Presiden Jokowi mendorong penggunaan mobil listrik dicoba dulu untuk angkutan massal seperti bus. Nanti setelah berkembang, berlanjut ke kendaraan lainnya.
“Tinggal sekarang listriknya ini dari mana, jangan sampai listriknya ini dari batubara. Seharusnya listriknya juga dari energi terbarukan,” kata Satya.
UU EBT Berikan Kepastian Investasi
Pada kesempatan itu, Satya juga menyatakan dukungannya atas Undang-Undang (UU) Energi Baru Terbarukan (EBT) yang sekarang masih dalam pembahasan DPR dan Pemerintah, sebab UU itu penting untuk memberikan kepastian dalam investasi.
Pengembangan EBT di Indonesia dan juga industri mobil listrik tidak akan berjalan selama perangkat undang-undangnya sebagai payung hukum tidak tersedia.
“Sebetulnya ini semua skenario komersial karena kenyataan dunia komersial, kalau tanpa itu tidak kerja. Maka perangkat hukumnya UU EBT yang sekarang lagi dibahas itu dalam rangka memberi kepastian investasi,” kata Satya.
“Sehingga orang kalau investasi di situ dia sudah tidak ragu lagi karena kepastian hukumnya ada, ada privilege, ada insentif karena mobil listrik itu di dunia tidak ada yang berdiri sendiri,” tambahnya.
Satya mencontohkan pengembangan mobil listrik di India diikuti sejumlah insentif seperti parkirnya bebas biaya, masuk jalan tol juga gratis dan membeli mobil dapat cashback.
Dengan sejumlah insentif tersebut konsumen tertarik untuk membeli mobil listrik.
“Jadi kalau kita bicara UU EBT, kita harapkan mampu memberikan satu payung hukum dalam rangka komersialnya bagus. Kita antarlah mereka nanti, di saat fosil sudah mulai berkurang, nanti gas akan mengganti sedikit demi sedikit terus nanti secara komersial bagus diikuti mobil listrik,” jelas Satya.
Menurut mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI ini, UU EBT lebih cepat disahkan lebih baik.
“Kalau dari kita (DEN) mengatakan lebih cepat lebih baik,” harapnya.
“Undang-undang itu juga perlu diuji juga dalam perjalannnya, perlu ada peraturan pemerintah turunannya. Ketika misalkan peraturan turunannya lambat dibuat bagaimana sementara para investor di sektor EBT ini juga lagi bersaing,” tandas Satya. (ATN)
Discussion about this post