ASIATODAY.ID, NEW YORK – Masa depan Myanmar makin tidak sejak negeri itu dilanda krisis politik.
Pasalnya, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) gagal menyepakati pernyataan bersama (resolusi) yang bertujuan mendorong junta Myanmar untuk mengambil langkah-langkah menuju solusi damai untuk mengakhiri krisis yang sedang berlangsung di negara itu.
China dan Inggris, yang menyusun teks itu, saling menyalahkan atas kegagalan negosiasi sepanjang hari, yang mengikuti pertemuan Dewan tertutup tentang Myanmar di pagi hari.
Untuk London, China meminta “terlalu banyak”, yang menyebabkan gagalnya negosiasi.
Seorang juru bicara delegasi China untuk DK PBB mengatakan kepada AFP bahwa pada akhirnya, hanya ada “sedikit perbedaan” untuk mencapai kesepakatan yang “bukan tidak mungkin untuk diatasi”.
Teks asli mengusulkan agar DK PBB mengungkapkan keprihatinan mendalam atas “kemajuan terbatas” dalam menerapkan rencana lima poin untuk mengakhiri krisis, yang ditetapkan lebih dari setahun yang lalu oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Hal ini juga menyerukan tindakan untuk mengimplementasikan peta jalan.
China mengusulkan menggunakan istilah kemajuan “lambat” daripada “terbatas”, kata delegasi China, Jumat (27/7/2022).
“Kata-kata kami faktual tetapi kurang merendahkan” dan “sangat disayangkan” bahwa tidak ada kesepakatan, juru bicara itu menambahkan.
Teks selebihnya, dilihat oleh AFP, mencerminkan keprihatinan Dewan Keamanan tentang berlanjutnya kekerasan dan kesulitan kemanusiaan di negara itu.
Pada pertemuan Dewan, utusan ASEAN untuk Myanmar, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kamboja Sokhonn Prak, dan utusan PBB, Noeleen Heyzer, memberikan informasi terbaru tentang situasi tersebut.
Menurut para diplomat, Heyzer, yang diangkat pada Oktober 2021, telah diberi lampu hijau umum untuk melakukan perjalanan pertamanya ke Myanmar, tetapi belum menerima otorisasi yang diperlukan untuk masa tinggalnya dan orang-orang yang mungkin dia temui.
PBB bersikeras agar bisa bertemu dengan berbagai pihak Burma, bukan hanya junta yang berkuasa.
Sejak militer melancarkan kudeta pada Februari 2021, lebih dari 1.800 orang tewas dalam tindakan keras terhadap perbedaan pendapat, menurut kelompok pemantau lokal. (ATN)
Discussion about this post