ASIATODAY.ID, NEW YORK – Ketatnya kontrol yang diberlakukan Pemerintah Amerika Serikat (AS) membuat perusahaan media sosial China yang menaungi Weibo, Sina Corp akhirnya cabut dari Wall Street.
Weibo merupakan perusahaan media sosial terbesar di China yang menyerupai Twitter. CEO Sina Corp Charles Chao memutuskan untuk keluar dari pasar modal dengan kesepakatan senilai USD2,6 miliar atau setara Rp38,48 triliun.
Melansir CNN Business, Rabu (30/9/2020), harga penawaran USD43,3 per saham tersebut setara dengan 8 persen dari premi harga penutupan perdagangan di New York pada Jumat (25/9) lalu.
Penawaran tersebut juga lebih tinggi dari penawaran pembelian awal yang dibuat oleh New Wave Holdings, perusahaan investasi milik Chao, pada Juli lalu.
Kesepakatan terjadi seiring dengan meningkatnya ketegangan antara China dengan AS. Dalam beberapa pekan terakhir, kedua negara berselisih karena ancaman dan pembatasan AS terhadap perusahaan teknologi China yang telah menjerat aplikasi raksasa lainnya seperti TikTok, WeChat dan pembuat chip SMIC.
Di Wall Street, perusahaan China juga menghadapi lebih banyak pengawasan, seperti Luckin Coffee yang didepak keluar dari Nasdaq menyusul pengungkapan penyimpangan akuntansi besar-besaran.
Anggota parlemen AS, lembaga pemerintah, dan bursa saham sejak itu mengambil langkah yang membatasi akses China ke pasar modal Amerika yang luas.
Pada Mei, Senat AS dengan suara bulat mengesahkan RUU yang mencegah perusahaan menolak membuka keuangan mereka di Wall Street. Saat ini, RUU masih harus disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat AS.
Rekan sponsor bipartisan RUU itu mengatakan tujuan RUU tersebut untuk menendang perusahaan China yang menipu dari bursa AS.
Pada Agustus lalu, Penasihat Presiden AS untuk Pasar Modal merilis sebuah laporan yang merekomendasikan peningkatan pengawasan terhadap perusahaan China yang terdaftar dan persyaratan uji tuntas untuk berinvestasi di perusahaan China.
Belum lama ini, sebagian perusahaan teknologi besar China pun mulai listing sekunder di Hong Kong dan Shanghai seperti Alibaba dan JD.
Aksi korporasi ini mereka lakukan karena kekhawatiran akan potensi masalah regulasi di Amerika Serikat, serta ingin lebih dekat dengan investor yang benar-benar menggunakan produk mereka. (ATN)
Discussion about this post