ASIATODAY.ID, EKUADOR – Negara Ekuador memutuskan keluar dari keanggotaan Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada Januari 2020. Krisis ekonomi yang melanda benua Amerika Selatan menjadi alasan ekuador hengkang.
“Langkah ini sejalan dengan kepentingan nasional untuk mengurangi belanja pemerintah dan mencari pendanaan baru,” terang Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam Tidak Terbarukan Ekuador dalam pernyataan resminya, seperti dikutip dari CNA, Rabu (2/10/2019).
Negara dengan produksi minyak terendah dari 13 anggota OPEC ini hanya memiliki basis produksi sebesar 530 ribu barel minyak per hari. Rendahnya pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja memaksa Presiden Ekuador Lenin Morena untuk melakukan paket reformasi yang diutarakan oleh IMF.
Ekuador masuk OPEC pada 1973 dan meninggalkannya pada 2002 karena negara Latin itu menolak untuk menaikkan kuota produksi minyak. Penolakan itu merusak pertumbuhan ekonomi ekuador. Namun pada 2007, Ekuador kembali menjadi anggota yang konstruktif dan menjaga hubunganya dengan negara OPEC lainnya.
Survei dari Reuters mengungkapkan produksi minyak OPEC pada Juli 2019 mencapai tingkat terendah dalam delapan tahun terakhir karena pemangkasan minyak Arab Saudi memperdalam penurunan produksi OPEC. Sanksi AS terhadap Iran dan penghentian operasi produksi oleh anggota kelompok eksportir minyak mentah tersebut juga memperparah produksi minyak.
Mengutip Antara, Kamis, 1 Agustus lalu, survei tersebut menyebutkan ke-14 anggota OPEC memompa produksi 29,42 juta barel per hari (bph) pada Juli, turun 280 ribu bph dari angka revisi Juni. Angka total produksi OPEC ini adalah yang terendah sejak 2011.
Survei menunjukkan Arab Saudi tetap pada rencananya untuk secara sukarela menahan produksi dengan lebih rendah dari yang diminta oleh kesepakatan pasokan yang dipimpin OPEC untuk mendukung pasar. OPEC memperbarui pakta pasokan bulan ini, mengabaikan tekanan dari Presiden AS Donald Trump untuk memompa lebih banyak.
Meskipun pasokan OPEC lebih rendah, harga minyak mentah telah turun dari tertinggi 2019 di atas USD75 per barel pada April, menjadi USD65 pada Rabu, 31 Juli, terbebani oleh kekhawatiran tentang perlambatan pertumbuhan ekonomi. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post