ASIATODAY.ID, DOHA – Negara-negara Teluk Arab diperkirakan mengalami defisit sebesar USD490 miliar atau Rp7.080 trilun pada 2023 mendatang.
Menurut laporan Standard and Poors (S&P), hal itu terjadi lantaran harga minyak yang turun dua kali lipat dan perlambatan yang terjadi akibat virus corona baru (Covid-19).
Dewan Kerjasama Teluk (GCC) yang beranggotakan enam negara diperkirakan akan mencatatkan defisit anggaran gabungan sebesar USD180 miliar atau Rp2.601 triliun tahun ini saja.
Laporan ini berdasarkan estimasi pada harga minyak rata-rata USD30 per barel pada tahun ini, dan diperkirakan akan naik menjadi USD55 pada 2022.
Kebutuhan pendanaan pemerintah di GCC yang meliputi Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) telah meningkat secara signifikan tahun ini.
“Kami memperkirakan total utang pemerintah GCC meningkat dengan rekor tertinggi sekitar USD100 miliar (Rp1.445 triliun) pada tahun 2020 saja,” kata S&P, Senin (20/7/2020) melansir AFP.
Tambahan USD80 miliar akan ditarik dari aset pemerintah, diperkirakan USD2 triliun untuk menutup kekurangan anggaran.
“Berdasarkan asumsi makroekonomi kami, kami melihat neraca pemerintah GCC akan terus memburuk hingga 2023, ketika defisit akan terakumulasi menjadi USD490 miliar,” ungkap lembaga tersebut.
Pandemi Covid-19 telah memukul permintaan minyak global dengan keras, menyebabkan jatuhnya harga minyak ke level terendah dua dekade sebelum pemulihan parsial.
Dana Moneter Internasional bulan ini memperkirakan enam negara GCC akan kehilangan sekitar USD200 miliar pendapatan minyak tahun ini.
IMF juga memperkirakan bahwa pertumbuhan GCC pada 2020 akan menyusut 7,1 persen, terendah dalam hampir empat dekade, sebagai akibat dari pandemi dan harga minyak yang rendah.
S&P mengatakan Arab Saudi, negara ekonomi Arab terbesar, akan mencapai 55 persen dari total defisit GCC, diikuti oleh Kuwait dengan 17 persen, dan Abu Dhabi dengan 11 persen. (ATN)
Discussion about this post