ASIATODAY.ID, JAKARTA – Langkah Pemerintah Indonesia melarang ekspor batubara mendapat dukungan penuh dari pimpinan parlemen di negeri itu.
“Larangan harus bersifat permanen, jangan sementara,” tegas Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel melalui keterangan resminya, di Jakarta, Jumat (7/1/2022).
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) telah melarang ekspor batubara selama 1-31 Januari 2022. Hal ini dilakukan untuk memasok kebutuhan dalam negeri, khususnya untuk menjamin pasokan batubara bagi kebutuhan pembangkit listrik di dalam negeri.
Namun demikian, Gobel mempertanyakan mengapa larangan itu terjadi untuk Januari saja.
“Ini aneh. Apalagi selama Desember 2021 harga batubara di pasar internasional justru sedang anjlok. Jadi mestinya pasokan di dalam negeri tercukupi dengan kondisi seperti itu,” katanya.
Anjloknya harga batubara di pasar internasional itu dipicu oleh intervensi Pemerintah China yang menaikkan produksi batubara dalam negerinya. Hal itu mereka lakukan karena sejak awal 2021 harga batubara di pasar internasional terus merangkak naik.
Sebagai konsumen batubara terbesar di dunia, China dirugikan oleh situasi itu. Karena itu, China menaikkan produksi batubara di dalam negerinya.
Dengan meningkatnya suplai, maka secara otomatis harga pun jatuh hingga 26 persen.
Melihat situasi itu, Gobel mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan Harga Batubara Acuan (HBA).
“Jangan sampai HBA di dalam negeri menjadi lebih mahal daripada harga batubara di pasar internasional. Dengan begitu, justru merugikan PLN, yang ujungnya merugikan rakyat sebagai konsumen PLN. Yang tentu ujung akhirnya melemahkan daya saing Indonesia di tingkat internasional. Jadi ketentuan larangan ekspor batubara ini jangan sampai diartikan hanya untuk melindungi pengusaha batubara saja,” jelasnya.
Lebih lanjut Gobel mengingatkan jangan sampai larangan ekspor batubara ini lebih karena harga pasar internasional batubara yang sedang merosot.
“Semua kebijakan harus berdasarkan kepentingan nasional (national interest), jadi bukan untuk melindungi segelintir orang,” katanya.
Teknologi pengolah batubara
Gobel juga menyatakan saat ini sudah ada teknologi yang bisa mengubah batubara untuk menjadi puluhan jenis materi kimia dasar untuk beragam keperluan industri.
“Hal ini menjadi nilai tambah tersendiri bagi Indonesia. Ini juga sekaligus memperkuat industri kimia dasar Indonesia dan juga memperkuat pasokan bahan baku bagi beragam industri Indonesia secara keseluruhan,” ujar dia.
Oleh karena itu, lanjutnya, pengusaha batubara sudah saatnya berinvestasi dan membangun industri pengolahan batubara untuk menjadi produk yang lebih unggul.
“Bukan sekadar mendapat konsesi dan menggali lalu menjual. Proses mencipta itu yang justru yang harus menjadi kekuatan bangsa. Karena itu, larangan ekspor batubara harus dipertimbangkan untuk bersifat permanen. Pengalaman masa lalu Indonesia soal pertambangan minyak tanpa diiringi pembangunan pengilangan membuat Indonesia menderita. Negara lain yang tak memiliki pertambangan minyak, dan cukup membangun pengilangan, justru yang mendapat untung lebih besar. Jadi Indonesia jangan menjadi keledai dua kali,” paparnya.
Pembangunan industri pengolahan batubara menjadi materi kimia dasar, kata Gobel, merupakan salah satu bentuk kepentingan nasional.
“Jadi jangan sampai batubara kita habis cuma untuk dibakar. Karena itu, pembangunan pembangkit listrik non-batubara harus digiatkan, seperti panas bumi, angin, matahari, bahkan bila perlu energi nuklir,” jelasnya.
Menurut Gobel, intuk menuju tahapan ke larangan ekspor secara penuh dan secara permanen, pemerintah bisa memulainya dengan meningkatkan Domestic Market Obligation (DMO).
Penaikan DMO tersebut harus diimbangi secara tegas untuk membangun industri pengolahan batubara untuk menjadi bahan kimia dasar tersebut.
“Kasus minyak bumi jangan berulang di batubara,” pungkasnya. (ATN)
Discussion about this post