ASIATODAY.ID, JAKARTA – Konflik Rusia dan Ukraina dapat menguntungkan perekonomian Indonesia yang kaya akan komoditas, khususnya sektor batubara.
Pasalnya, gangguan ekspor batubara Rusia akan memaksa China mengimpor lebih banyak batubara dari Indonesia.
“Banyak negara di kawasan ini adalah importir minyak dan akan berada di bawah “tekanan yang cukup hebat,” kata Anthony Nafte, ekonom senior dari CLSA kepada “Street Signs Asia” CNBC pada hari Rabu (9/3/2022).
Dikatakan, lonjakan harga komoditas baru-baru ini telah “jauh lebih tinggi” dari yang diantisipasi dan berpotensi semakin panjang.
Harga komoditas telah melonjak sejak konflik Rusia dan Ukraina pecah, dimana harga minyak mentah mencapai tingkat yang tidak pernah terlihat sejak 2008.
Rusia adalah produsen minyak utama sementara Ukraina adalah pengekspor besar komoditas lain seperti gandum dan jagung.
Menurut Nafte, Indonesia dapat “bertahan dengan baik” di lingkungan saat ini karena ekonominya yang didorong oleh komoditas.
“Lebih dari 50% ekspor mereka berasal dari komoditas, dan sekarang Indonesia sudah mendapatkan posisi di mana harga komoditas akan bertahan lebih tinggi dan lebih lama,” kata Nafte.
Dikatakan, Rusia saat ini merupakan pemasok batubara terbesar kedua ke China dan disrupsi suplai dapat mendorong Beijing untuk beralih ke Indonesia untuk mengisi kesenjangan.
“Indonesia akan diuntungkan dari efek harga dan juga dari segi volume,” kata Nafte.
Menurut data Kementerian ESDM, pada 2020, Indonesia mengekspor 405 juta ton batu bara. Tiongkok adalah negara tujuan ekspor terbesar, mencapai 127,7 juta ton atau sekitar 32% dari total ekspor. Adapun produksi batubara Indonesia mencapai 563,73 juta ton, di mana sekitar 72% di antaranya diekspor.
Di sisi lain, Ekonomi Thailand berada di posisi yang berlawanan dengan Indonesia. Kondisi saat ini menghadirkan tantangan lanjutan untuk ekspor dan pariwisata, pendorong ekonomi terbesar Thailand, hingga akhir tahun.
“Gangguan terhadap perdagangan global ini akan menjadi hambatan bagi ekspor. Untuk kebangkitan pariwisata, saya pikir 2022 terlalu dini. Masih akan ada banyak masalah,” kata Nafte.
“Neraca pembayaran Thailand juga menghadapi “kerentanan terbesar” di antara negara-negara berkembang Asia Tenggara, tambahnya.
“Mereka mengalami defisit transaksi berjalan yang besar tahun lalu karena hilangnya pendapatan pariwisata, dan nilai tukar mereka terlihat sangat rentan,” kata Nafte. (ATN)
Discussion about this post