ASIA Pasifik menampung lebih dari 4,4 miliar orang (60% dari populasi global) yang terdiri dari 58 pasar. Wilayah Asia Pasifik berkisar dari salah satu konsumen energi terbesar di dunia hingga ekonomi pulau-pulau kecil yang rentan terhadap konsekuensi negatif dari pemanasan global, yaitu perubahan iklim. Dengan lebih dari 50% dari konsumsi energi dunia, 85% dari konsumsi regional masih berasal dari bahan bakar fosil, dan wilayah Asia Pasifik berkontribusi terhadap 55% emisi global dari pembakaran bahan bakar fosil.
Meskipun Asia Pasifik mengalami pertumbuhan pesat dalam hal kekayaan, kemakmuran, dan kemajuan teknologi, sepersepuluh orang (sekitar 440 juta) masih tidak mendapatkan akses ke listrik dan banyak dari mereka yang masih bergantung pada penggunaan biomassa tradisional untuk memasak dan memanaskan makanan dan minuman.
Ketika Asia Pasifik mengalami peningkatan populasi, kelas menengah yang terus menumbuh, dan urbanisasi yang cepat, permintaan energi akan terus meningkat dengan kecepatan yang sangat tinggi. Lonjakan permintaan energi memberikan peluang bagi para investor energi baru terbarukan untuk memenuhi kebutuhan ini, terutama sekarang ini dikarenakan Perjanjian Paris telah diratifikasikan oleh negara-negara yang berada di Asia Pasifik yang membuat mereka lebih fokus kepada perkembangan energi baru terbarukan.
Namun, membuat transisi ke ekonomi energi rendah karbon yang berkelanjutan membutuhkan visi dan misi yang jelas dan komitmen yang konkret oleh pemerintah dan sektor swasta di semua negara di Asia Pasifik.
Berdasarkan Riset BMI, Cina dan India akan menjadi pendorong utama energi baru terbarukan. Kedua negara ini akan menambah sekitar 430 MW tenaga angin dan tenaga surya hingga tahun 2027. India akan menambah sekitar 164 GW kapasitas non-hidro selama dekade ini, peningkatan sebesar 165% dari kapasitas yang sudah terpasang.
Indonesia, sebuah negara yang telah berkomitmen dalam memenuhi Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC), juga muncul sebagai pemimpin regional karena ingin meningkatkan pangsa energi baru terbarukan dalam total bauran energi dari 12% menjadi 23% pada tahun 2025, yang akan membutuhkan investasi senilai 154 miliar dollar Amerika Serikat, dan 31% pada tahun 2050.
Negara dengan populasi terpadat keempat di dunia ini berpotensi menghasilkan 788.000 megawatt (MW) tenaga dari energi baru terbarukan (14 kali konsumsi listriknya). Indonesia memiliki 40% dari cadangan panas bumi dunia dan ketika dioptimalkan sepenuhnya dapat menghasilkan daya sebesar 29.000 MW. Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi untuk menghasilkan daya sebesar 75.760 MW dari energi pasang surut. Sayangnya, hanya 12% listrik di Indonesia berasal dari energi baru terbarukan sementara batubara masih menyediakan 55% total listrik, gas 26%, dan minyak 7%.
Kebutuhan listrik di Indonesia diperkirakan akan tumbuh sekitar 7% per tahun hingga tahun 2027 dan pemerintah masih memprioritaskan stabilitas/harga daripada kebersihan pembangkit listrik.
Saat ini, pengadaan tanah merupakan masalah utama di sebagian besar negara-negara Asia Pasifik dan konektivitas dan stabilitas jaringan berdampak tinggi pada proyek-proyek energi baru terbarukan di daerah-daerah terpencil yang tidak terhubung ke jaringan listrik. Oleh karena itu, koneksi jaringan yang stabil sangat penting untuk pengembangan energi baru terbarukan skala besar di masa depan.
Ada beragam rentang sistem energi baru terbarukan yang digunakan di Asia Pasifik seperti mini-grid atau hibrida, yang terdiri dari satu set generator listrik yang terhubung ke jaringan distribusi yang memasok listrik ke sebuah grup lokal. Sistem yang berdiri sendiri seperti atap panel surya digunakan untuk memberi daya pada rumah. Penyimpanan baterai dengan skala utilitas membantu meningkatkan stabilitas jaringan dan menghilangkan intermiten dari pembangkit energi baru terbarukan.
Secara umum, di seluruh negara di Asia Pasifik, pemerintah meningkatkan upaya energi baru terbarukan dan menetapkan target energi baru terbarukan yang lebih tinggi. Faktanya, energi baru terbarukan di Asia Pasifik sebagian besar melebihi energi baru terbarukan yang ada di Eropa dan Amerika Serikat, sebagian besar disebabkan oleh pertumbuhan proyek-proyek di Cina, India, dan Australia.
Jika negara-negara di Asia Pasifik ingin mencapai tingkat penetrasi energi baru terbarukan yang tinggi maka pentingnya untuk para investor untuk memiliki pembiayaan yang tepat dan juga didukung oleh kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang kondusif dan memadai. Melalui ini, biaya global energi baru terbarukan akan menurun dan ini akan membuat energi baru terbarukan lebih kompetitif dibandingkan sumber energi konvensional.
Sumber utama pendapatan bagi para investor energi baru terbarukan adalah perjanjian pembelian daya (PPA). Sangat penting bagi para investor energi baru terbarukan untuk memastikan keamanan off-take untuk PPA untuk mengurangi risiko gagal bayar karena sebagian besar penerima di wilayah Asia Pasifik dalam kondisi kesehatan keuangan yang tergolong rendah.
Ketersediaan utang lokal, pinjaman jangka panjang, dan suku bunga yang rendah di sebagian besar negara-negara Asia Pasifik menyediakan platform pembiayaan yang solid untuk proyek-proyek energi baru terbarukan karena anggaran pemerintah seringkali tidak cukup untuk memenuhi tingginya biaya pembangunan dan infrastruktur energi baru terbarukan di wilayah yang secara geografis sangat menantang.
Memiliki sistem grid yang setara dengan standar internasional dan dapat diandalkan juga sangat penting. Membangun integrasi melalui penggunaan peralatan yang hemat energi, dimasukkannya teknologi energi baru terbarukan, dan kecerdasan buatan adalah fokus utama dalam mencapai kelestarian lingkungan.
Masa depan energi hijau yang mencapai 100% sangat memungkinkan dan di samping itu, pasar yang berfokus pada energi baru terbarukan menciptakan lebih banyak pekerjaan daripada kehilangan yang akan dialami oleh industri bahan bakar fosil.
*)Penulis Satya Hangga Yudha Widya Putra, B.A. (Hons), MSc adalah Co-Founder dan Penasihat Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I), Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rumah Millennials, Alumni dan Duta Jakarta Intercultural School (JIS), dan Penerima Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP, PK-51).
,’;\;\’\’
Discussion about this post