ASIATODAY.ID, JAKARTA – Praktek perbudakan kontemporer atau modern di wilayah Xinjiang, China terungkap dari laporan yang disampaikan oleh Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Tomoya Obokata. Laporan itu setebal 20 halaman.
Perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan harkat dan derajat etnis minoritas tersebut terjadi secara masif. Etnis Uighur, Kazakh dan etnis minoritas lainnya dipaksa bekerja di luar keinginan mereka.
Dalam laporan itu, Obokata menjelaskan etnis minoritas ini digunakan otoritas China dalam kerja paksa di beberapa sektor, seperti pertanian dan manufaktur.
Kendati upaya otoritas ini diklaim dapat menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan minoritas, namun unsur kerja paksa dan tidak manusiawi sangat kental.
Para pekerja wajib tunduk pada penempatan kerja dan mereka mengalami pengawasan berlebihan. Bahkan terjadi pembatasan pergerakan melalui pengasingan, hingga adanya kekerasan fisik dan seksual serta perlakuan tidak manusiawi lainnya.
Presiden Kongres Uighur Dunia (WUC), Dolkun Isa menilai laporan PBB tentang bentuk-bentuk perbudakan kontemporer ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di China. Sejumlah etnis minoritas mengalami hal tersebut.
“Temuan laporan Obokata bahwa kerja paksa, dan bahkan perbudakan, ada di Xinjiang menunjukkan kejahatan yang dilakukan China terhadap Uighur,” kata Isa seperti dilansir dari Radio Free Asia (RFA), Kamis 25 Agustus 2022.
“Sekarang tindakan nyata diperlukan untuk meminta PKC (Partai Komunis China) bertanggung jawab atas kejahatan ini berdasarkan temuan baru-baru ini.” tegas Isa.
Seorang peneliti di Victims of Communism Memorial Foundation yang berbasis di Washington, D.C. dan ahli di wilayah Xinjiang, Andrian Zenz, mengungkapkan bahwa laporan PBB itu sebagai pernyataan yang kuat, di mana pelapor menyatakan bahwa ada bukti yang masuk akal untuk menyimpulkan bahwa kerja paksa sedang berlangsung di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang dan kemudian program serupa yang ada di Tibet.
“Dan kemudian dia mengatakan dalam beberapa kasus situasinya mungkin sama dengan perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Zens.
“Itu bentuk terkuat. Ini semacam penilaian formal pada tingkat yang sangat tinggi,” imbuh Zens.
Zenz mencatat bahwa laporan Obokata muncul hampir empat hari setelah China meratifikasi dua konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang kerja paksa. Salah satunya dirancang untuk melawan kerja paksa yang disponsori negara, melarang penggunaannya untuk tujuan politik dan pembangunan ekonomi.
Konvensi lainnya melarang praktik kerja paksa dalam segala bentuk dan membuat pihak yang mewajibkan kerja paksa dapat dihukum sebagai pelanggaran pidana.
Laporan Obokata ini muncul ketika kelompok aktivis Uighur menunggu penerbitan laporan yang terlambat tentang pelanggaran HAM di Xinjiang, oleh Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet.
Semula Bachelet memberi tahu bahwa kantornya hampir menyelesaikan penilaiannya atas tuduhan pelanggaran HAM di China.
Pada Juli lalu, kantor Bachelet mengatakan laporan itu masih dalam proses dan akan dirilis sebelum dia meninggalkan kantor akhir bulan ini.
Tindakan Bachelet ini telah membuat marah kelompok aktivis Uighur terhadap Bachelet. Petinggi HAM PBB ini dinilai ikut terbawa propaganda China bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM bahkan genosida yang dialami etnis minoritas.
Amerika Serikat (AS) dan legislatif dari beberapa negara barat lainnya telah menyatakan bahwa penindasan China di Xinjiang, merupakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. (ATN)
Discussion about this post