ASIATODAY.ID, JAKARTA – Anggota DPR Republik Indonesia Fadli Zon mengungkap sisi kelam sejarah komunisme di Indonesia dan di dunia.
Politisi Partai Gerindra itu memaparkannya di forum Talk Show Indonesia Lawyers Club (ILC) bertajuk ‘Ideologi PKI Masih Hidup’ pada Selasa 29 September 2020 malam.
Fadli Zon menegaskan bahwa ideologi komunis itu sangat kejam, ganas dan menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan. Komunis bahkan telah melakukan pembantaian manusia dengan jumlah korban yang sangat besar.
Fadli merujuk pada buku The Black Book of Comunisme, dimana dalam buku itu tercatat korban kekejaman rezim komunisme di seluruh dunia mencapai 95 juta orang. Paling banyak di Rusia (Uni Soviet), kemudian di China ketika zaman Revolusi Kebudayaan termasuk di Kamboja yang mencapai 10 ribu orang.
Lalu Bagaimana di Indonesia?
Fadli menegaskan bahwa komunisme di Indonesia tidak ada yang kontroversi apalagi terkait Gerakan 30 September (G30S) atau G30S/PKI.
Menurut Fadli, Partai Komunis Indonesia (PKI) jelas ingin melakukan kudeta selama dua kali yakni di tahun 1958 dan 1965.
“Apalagi sudah ada TAP MPRS No 25 Tahun 66 dan ada juga Undang-Undang nomor 27 Tahun 1999 yang jelas-jelas menegaskan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan karena ingin merobohkan negara Republik Indonesia. Jadi sebetulnya tidak ada kontroversi,” tegas Fadli, dikutip dari Channel Youtube, ILC, Rabu (30/9/2020).
Fadli Zon mengungkapkan hal itu karena mengetahui sejarah secara benar dan pernah melakukan riset secara langsung ketika menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia. Bahkan Fadli Zon meraih gelar doktoral Ilmu Sejarah.
“Inilah pentingnya kita mengerti sejarah supaya tidak terbalik-balik. Undang-Undang PMA itu produk dari pemerintahan Soeharto, itu salah besar yang menandatangani Undang-Undang nomor 1 Penanaman Modal Asing itu adalah Presiden Soekarno tanggal 10 Januari tahun 1967,” kata Fadli Zon.
Dalam rangka menyelami sejarah terkait Gerakan 30 September PKI, Fadli Zon pun menulis beberapa buku yang salah satunya berjudul ‘Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948’.
Menurutnya, PKI merupakan pihak yang menusuk bangsa Indonesia dari belakang untuk melakukan kudeta di tengah agresi militer Belanda II.
“Kami bersama-sama mewawancarai tokoh PKI tahun 1948 dan jelas di situ PKI 1948 itu berkolaborasi dengan Belanda menusuk kita (Indonesia) dari belakang. Ketika kita bersiap-siap menghadapi agresi militer Belanda yang kedua, yang kita sudah antisipasi waktu itu, tiba-tiba 18 September tentu dimulai dengan kerusuhan dideklarasikanlah Soviet Madiun dan dimulai deklarasinya Musso,” bebernya.
Fadli mengatakan bahwa, PKI akan selalu ‘penasaran’ sebab tidak ikut terlibat dalam kemerdekaan Republik Indonesia.
“Jadi memang PKI ini penasaran sebenarnya karena PKI kalau kita lihat sejarah tidak ikut terlibat dalam kemerdekaan proklamasi Republik Indonesia, yang terlibat adalah tokoh-tokoh nasionalis dan Islam. PKI waktu itu ilegal, tidak ikut terlibat,” tegas Fadli.
Fadli melanjutkan, tujuan kedatangan Musso saat itu juga untuk mengoreksi revolusi bangsa Indonesia yang dinilai gagal oleh PKI.
“Makanya mereka penasaran. Di awal-awal dulu, PKI mengatakan proklamasi 1945 itu adalah revolusi yang gagal, revolusi borjuis karena itu mereka mau mengoreksi itu. Maka datanglah Musso dari Moskow mau mengoreksi dan membuat sebuah manifesto, jalan baru untuk Republik Indonesia,” jelasnya.
Fadli Zon juga menyanggah bahwa ideologi PKI bukan Pancasila seperti yang sebelumnya disebutkan oleh anak pertama dari Presiden Soekarno, Sukmawati Soekarno Putri.
“Musso itu mengecam Bung Karno, mengecam Bung Hatta dan jelas-jelas dalam manifesto Jalan Baru yang dibuat Musso mengatakan ideologi dari PKI itu adalah marxisme leninisme, bukan Pancasila,” ujarnya.
Datangnya Musso ke Indonesia membuat Soekarno akhirnya berpidato yang meminta rakyat memilih antara dirinya (Bung Karno) atau Musso.
“Kalau kita lihat di situ Soekarno-Hatta langsung membuat sebuah pidato. Bung Karno hebat sekali waktu itu, Bung Karno mengatakan ini adalah gerakan untuk kudeta mengambil alih Republik. Karena itu Bung Karno menyampaikan pilih Soekarno Hatta atau pilih Musso,” tambahnya.
Pada Gerakan 30 September PKI itu, korbannya adalah kebanyakan para tokoh kyai Nahdatul Ulama (NU).
“Mayat mereka dibuang dibuang di lubang buaya, di sumur-sumur. Sumur Soco 1, sumur Soco 2. Itu ratusan orang yang ada di situ dan belum yang dibantai di tempat lain,” ujar Fadli.
Namun karena bangsa Indonesia tengah menghadapi agresi militer Belanda II maka ‘penumpasan’ anggota PKI diketahui tak tuntas sehingga dinilai masih berlanjut hingga kini.
“Suasananya saat itu memang revolusioner dibuat, jadi PKI menusuk dari belakang saat kita akan menghadapi agresi militer Belanda II. Akhirnya kemudian karena ini adalah sebuah kudeta dan kemudian kita menghadapi agresi militer Belanda tentu tidak tuntas penumpasannya (PKI),” ujar Fadli.
Fadli Zon kemudian menyertakan bukti lain bahwa PKI melakukan kudeta pada tahun 1965, yakni melalui media Harian Rakyat yang terbit pada 2 Oktober.
“Di dalam Harian Rakyat 2 Oktober, ini tidak bisa terbantahkan Harian Rakyat ini punya PKI yang memimpin adalah Nyoto. Ini koran resmi PKI 2 Oktober,” ujarnya.
Dalam media tersebut, editorialnya menulis bahwa “Rakyat yang sadar akan politik dan tugas-tugas revolusi meyakini akan benarnya tindakan yang dilakukan oleh Gerakan 30 September untuk menyelamatkan revolusi dan rakyat”.
Terdapat karikatur pada koran tersebut menampilkan para jenderal yang saat itu tewas terbunuh.
“Kemudian di karikaturnya ini ada Minggu, Senin, Selasa sampai Sabtu ini hari Kamis, Jumat 30 September dan 1 Oktober jelas-jelas di situ ada tangan Gerakan 30 September tulisannya, kemudian yang dihajar ini adalah para jenderal TNI Angkatan Darat (AD),” tambahnya.
Tulisan dalam karikatur adalah ‘Letkol Untung, Komandan Batalion Cakrabirawa menyelamatkan Presiden RI KUP dari Dewan Jenderal’.
“PKI adalah pelaku kudeta, tidak ada versi lagi apalagi Bu Sukma tadi sangat berbahaya mengatakan Pak Soeharto ikut terlibat,” ujar Fadli.
Pada tahun 2007, Fadli mengaku sempat melakukan wawancara dengan Presiden kedua, Soeharto terkait peristiwa itu.
“Waktu itu saya tanya apa betul waktu itu Kolonel Latif melaporkan kepada Pak Harto akan adanya KUP dari Dewan Jenderal. Pak Harto waktu itu dalam kondisi sakit terbata-bata mengatakan ‘tidak ada itu’,” kata Fadli menirukan jawaban Soeharto.
Fadli Zon kembali menegaskan bahwa ideologi komunisme merupakan suatu paham yang sangat ganas.
“Ini memang komunisme adalah suatu ideologi yang sangat ganas dan kejam. Jangan sampai terjadi lagi,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post