ASIATODAY.ID, JAKARTA – Era digital banking 4.0 menjadi peluang bagi perbankan di Tanah Air untuk lebih berinovasi memberikan layanan kepada nasabah.
Inovasi itu dibutuhkan untuk menyikapi persaingan seiring pesatnya pertumbuhan financial technology (fintech). Namun, di sisi lain era digital banking 4.0 juga menghadirkan sejumlah tantangan seperti perlindungan data nasabah. Oleh karena itu, perbankan dituntut untuk lebih adaptif terhadap perkembangan era digital banking 4.0.
Menurut Deputi Direktur Produk, Aktivitas, dan APU PPT OJK Tris Yulianta, perbankan akan terpengaruh dengan disrupsi dari era digital teknologi dalam revolusi industri 4.0 jika tidak menyikapi secara tepat dan cepat.
“Apakah perkembangan digital akan menyebabkan disruption bagi perbankan? Iya jika kita tidak menyikapi. Sebab, perilaku konsumen berubah. Teknologi digital membuka kompetisi, kedatangan fintech juga membuka persaingan. Ini harus disikapi,” terangnya dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Minggu (18/8/2019).
Tris memandang, perubahan perilaku konsumen menuntut perbankan untuk lebih adaptif dengan teknologi digital. Karena jika tidak, maka perbankan akan bisa ditinggal nasabah. Selaku regulator, OJK berupaya untuk membuat aturan yang mampu mengikuti perkembangan zaman. Untuk itu, OJK telah menyusun Peraturan OJK (POJK) Nomor 12/2018 yang salah satunya bertujuan untuk mendukung efisiensi operasional, meningkatkan layanan, dan mengadopsi teknologi TI.
“Dengan regulasi itu, harusnya perbankan bisa menyikapi disruption karena dari sisi regulasi sudah cukup mendukung. Pendek kata, layanan perbankan sudah bisa dalam genggaman tangan,” paparnya.
Menyadari hal itu, lanjut Tris, perbankan harus memanfaatkan era digital banking sebagai peluang untuk meningkatkan performance perbankan secara keseluruhan.
“Arahnya kita dorong perbankan untuk sinergi dan kolaborasi dengan fintech di era digital banking,” imbuhnya.
Perkembangan digital banking ke depannya kata dia, juga menghadirkan sejumlah tantangan terutama perlindungan nasabah dan dampak terhadap ekonomi secara luas.
“Perlindungan dan edukasi maupun literasi kepada nasabah menjadi pekerjaan rumah kita. Selain itu, apa kita siap dengan kemunculan virtual banking misalnya? Karena dampaknya, perbankan akan mengurangi jumlah cabang dan itu akan mempengaruhi ekonomi secara luas, apa kita sudah siap?” tanyanya.
Senada dengan hal tersebut, Agus F Abdillah, Chief Product and Services Officer Telkomtelstra, menjelaskan perkembangan pesat era digital banking 4.0 di sektor perbankan dan finansial telah mengubah dan mendisrupsi model bisnis saat ini.
“Hampir semua di sektor finansial dan perbankan, mulai dari deposit, lending, payment system, asuransi, hingga multifinance dimasuki oleh model bisnis baru yang berbasis platform. Ini yang banyak terjadi,” paparnya.
Menurut Agus, jika perbankan belum menggunakan ini, maka akan sangat mudah didisrupsi oleh fintech yang baru-baru. “Nah, bagaimana fintech bisa melakukan itu, antara lain dengan memperbaiki customer experience memanfaatkan teknologi IT. Teknologi seperti apa, ada tiga yang menonjol, yakni dari sisi network, cloud, dan security,” jelasnya.
Sementara itu, Ravi Ivaturi, PwC Indonesia Advisor, menjelaskan banyak dari perusahaan terutama di sektor perbankan menyatakan sudah masuk dalam era digital banking 4.0.
Ravi mendorong agar lebih banyak lagi pelaku industri perbankan berinvestasi dan masuk serta mengaplikasikan digital dalam bisnis. “Sudah waktunya bagi mereka untuk memahami digital,” paparnya.
Berdasarkan PwC’s 11th Anniversary Digital IQ Survey yang dilakukan pada 2018 di 60 negara dengan 2.268 jumlah responden, layanan digital banking mulai menjadi perhatian khusus.
Menurut penilaian para bankir Indonesia, cabang bank konvensional, saluran seluler dan internet masih memperoleh nilai tertinggi dari responden berdasarkan pengalaman pelanggan (customer experience) masing-masing 70%, 64%, dan 56%. Setelah itu, cabang digital (digital branches) dan e-money menyusul dengan nilai masing-masing 24%. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post