CABE rawit ya begitu. Rasanya begitu menggigit. Tapi, ini kan kebijakan. Pertanyaannya, apakah kebijakan itu efektif dalam menyelesaikan masalah yang komprehenaif serta telah cukup lama tak menerima insentif untuk kita bisa melihat transformasi dalam mobilitas orang dan barang.
Orang bicara soal macet, soal polusi udara, lalu ditanggapi dengan kebijakan yang belum tentu efektif.
Kok bisa ngak efektif? Ya, siapapun tahu, orang bisa saja mengambil rute berbeda karena ganjil-genap. Tidak pindah naik kendaraan umum tapi hanya ganti rute atau jam melintasnya! Serta bisa saja beli mobil atau sepeda motor lagi agar dioperasikan sesuai harinya. Alamak…!
Padahal, dari dulu solusinya sudah ditawarkan. Bagaimana solusi mengatasi kemacetan yang kemudian bisa menurunkan polusi? Saya sudah menulis buku tentang itu dalam buku “Ayo Melawan Kemacetan”. Baca saja!
Intinya apa? Insentif dan disinsetif. Insentifnya ya tentu saja membangun angkutan umum. Sekarang ini, sudah dibangun dalam bentuk TransJakarta. Tetapi, dari dulu saya sudah sampaikan ke Pak Sutiyoso (saat jadi gubernur) soal pentingnya feeder sampai ke perumahan dan pentingnya tata ruang sehati dengan dinas perhubungan.
Untuk feeder, sudah ada Jak Lingko, tapi berapa persen wilayah Jakarta yang dilayani? Belumlah banyak.
Dulu, kita juga punya solusi lain yakni jalan berbayar elektronik (Electronic Road Pricing/ERP). Nah, ERP ini bentuk disinsentifnya. Nah, apa kabar ya ERP itu? Padahal, dengan ERP tarifnya dapat dibuat fluktuatif saat rush hour atau jam-jam sepi. Sampai mana ya rencana ERP itu? Tidak ada yang tahu.
Dan, tahu-tahu ruas jalan yang dikenai kebijakan ganjil-genap diperluas menjadi 16 ruas jalan. Aduh, begitu sajakah solusinya? Padahal, ada banyak ahli transportasi di negeri ini kan?
*Penulis Eka Sari Lorena Soerbakti, pemilik Lorena Group
,’;\;\’\’
Discussion about this post