Lebih dari 6 bulan, orang-orang di seluruh dunia melakukan aktivitas mereka secara terbatas. Mereka belajar, bekerja, dan bahkan berkonsultasi dengan dokter secara virtual. Produktivitas manusia semuanya hampir dilakukan secara online, virtual, dan dari kejauhan. Bekerja dari rumah dan belajar dari rumah menjadi tagline baru akhir-akhir ini. Dengan demikian, di masa pandemi COVID-19 ini terjadi pergeseran produktivitas ke dunia maya, yang tentunya memiliki berbagai dampak bagi berbagai sektor industri. Mulai dari hal-hal penting seperti memesan makanan, hingga hal pelengkap, seperti hiburan, semua dilakukan secara virtual. Karena begitu banyak negara dalam lockdown dan cukup banyak orang yang bekerja, belajar, dan berdoa dari rumah, dampak pandemik ini semakin multi dimensi.
Bioskop ditutup dan tidak ada restoran untuk bersantap, orang-orang telah menghabiskan lebih banyak hidup mereka secara online. Meskipun aktivitas online telah meningkat pesat, Internet sedang didorong untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang berbeda dari biasanya.
Berdasarkan temuan Hidayat (2020), selama wabah COVID-19 di Indonesia, pengguna internet yang paling berpengaruh adalah Generasi Z, diikuti oleh X, Milenial atau Y, dan Baby Boomer. Sementara itu, selama pandemi, hal-hal yang paling sering dilakukan di Internet adalah bertukar pesan (86,5%), browsing (80,5%), mengakses media sosial (70,3%), video streaming (55,0%), mengirim Email (53,8%), dan Mengunduh (53,5%), di samping belanja online (44,6%), pembayaran online (40,4%), Internet Banking (33,7%), Transportasi Online (29,4%), game online dan pembelajaran (28,6 persen), konferensi video (25,3 persen), e-book dan e-reader (16,0 persen), dan lainnya (3,0%).
Berkorelasi dengan persentase di atas, jumlah 55% untuk video streaming selama pandemi sangat logis karena lockdown memaksa begitu banyak orang untuk tinggal di rumah dan kemudian menggunakan Internet. Kemudian di Internet, ada begitu banyak konten online yang dapat ditonton oleh orang-orang di rumah.
Lebih lanjut, ada fenomena menarik yang mana para penonton Indonesia memuncaki chart streaming online untuk drama Korea secara global, menurut Halidi dan Effendi (2020). Tampaknya tidak ada yang bisa menghalangi Hallyu atau Korean Wave di Indonesia. K-Pop, K-Drama, atau bahkan K-Indie Music yang sudah menjadi makanan pokok banyak orang Indonesia. Penggemar budaya pop Korea di Indonesia sangat berkembang pesat. Pandemi ini sekarang menjadi katalisator untuk itu, karena banyak orang Indonesia menuntut lebih banyak konten Korea ke layar mereka selama lockdown.
Argumen ini tidak sepenuhnya salah. Rakhmat dan Tarahita (2020) bahkan berpendapat bahwa orang Indonesia menyumbang banyak pangsa pemirsa EXO dan Blackpink. Apalagi dalam statistik Layanan Streaming Musik Online Spotify (Damaledo, 2020), Indonesia menempati posisi kedua untuk streaming K-Pop secara global. Selain itu, untuk drama dan film Korea, Indonesia juga dapat dengan mudah mengaksesnya di situs web secara gratis dan layanan streaming video on demand. Adjie (2020) mengatakan bahwa berdasarkan data Lembaga Ilmu Ilmu Indonesia (LIPI), penonton drama Korea di Indonesia telah melonjak karena pandemi COVID-19 memungkinkan orang lebih banyak berdiam diri di rumah. Oleh karena itu, meningkatnya permintaan konten Korea di Indonesia sangat dapat dipahami.
Argumen di atas juga dapat didukung oleh penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) (jawaban Pemerintah Indonesia untuk lockdown) di hampir semua provinsi. Kebijakan ini diambil sebagai langkah dalam menanggulangi penyebaran dan peningkatan kasus positif COVID-19, yang meningkat dari hari ke hari.
Praktis semua acara lingkungan dilakukan di rumah selama pengenalan PSBB. Hal ini telah mendorong orang-orang untuk mencari hiburan pribadi alternatif untuk mengisi waktu mereka yang melimpah di rumah. Salah satu alternatif tersebut adalah hiburan dari konten Korea.
Menurut Suryanto (2020) operator Indonesia mencatat, sejak penerapan PSBB, data aktivitas streaming masyarakat meningkat sangat tinggi sebesar 193%. Peningkatan ini dibuktikan dengan penggunaan aplikasi streaming film, seperti Netflix, Viu, dan lainnya yang didominasi oleh pencarian film dari Korea. Seperti dilansir Mata (2020), Senior Executive Vice President Business and Customer Service di PLN, Yuddy Setyo Wicaksono, mengatakan bahwa permasalahan banyaknya pelanggan yang mengeluhkan kenaikan tagihan listrik disebabkan oleh peningkatan konsumsi pelanggan bersama dengan PSBB dan WSFH (Work and Study From home), salah satunya karena peningkatan konsumsi pelanggan yang mencari hiburan mulai dari menonton drama Korea (K-Drama) dan bermain game.
Tidak hanya konten, produk atau produk Korea yang terinspirasi dari Korea sebagian besar tersedia di Indonesia. Sejak penerapan PSBB di sejumlah daerah, pusat perbelanjaan mengalami penutupan sementara. Hal inilah yang membuat minat masyarakat untuk berbelanja online semakin meningkat. Salah satu tren belanja online selama PSBB adalah berbelanja produk perawatan pribadi yang terinspirasi dari atau langsung dari Korea. Bahkan sebelum lockdown, Wira (2020) mengatakan bahwa 57,6 persen orang Indonesia lebih menyukai produk perawatan kulit dari Korea Selatan.
Akibatnya, pertanyaan di mana konten lokal Indonesia ditempatkan di masyarakat Indonesia muncul? Apakah pandemi COVID-19 membuat budaya pop asing atau konten asing, seperti Korea, menjadi pemain utama atau bahkan hegemon di sektor hiburan Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan ini perlu diselesaikan untuk mempertahankan konten lokal Indonesia di pasar Indonesia sendiri. Kebangkitan konten sangat dibutuhkan di Indonesia. Orang Indonesia tampaknya kehilangan identitasnya karena paparan berat dari konten asing. Meijaard (2015) mengatakan bahwa untuk tingkat yang signifikan, lingkungan di mana orang-orangnya tumbuh dan di mana banyak praktik budaya didasarkan membentuk identitas nasional negara mana pun. Identitas asli bangsa akan selalu terkikis jika mereka kehilangan pengaturan, dan digantikan oleh pengaruh luar.
Oleh karena itu jika kita mengamati dengan cermat, sebagian besar masyarakat Indonesia mendapatkan eksposur dari konten asing secara lebih banyak, terutama selama pandemi, jika kita menggunakan data yang disebutkan di atas.
Lebih lanjut, jika kita semua memutuskan untuk berbicara lebih banyak tentang paparan, secara umum, pariwisata Indonesia juga perlahan-lahan kehilangan sentuhannya karena penggunaan konten asing sebagai tampilan utama lokasi wisata mulai meningkat.
Misalnya, Onsen Resort buatan manusia di Malang, Mini Santorini di Yogyakarta, atau Korean Village di Bandung, sebenarnya memberikan tanda kepada otoritas Indonesia bahwa orang Indonesia sangat terglobalisasi (secara pragmatis dan subliminal) karena sangat terbatasnya konten lokal atau manifestasi budaya lokal Indonesia untuk digunakan secara komersial di seluruh sektor media dan industri.
Konsekuensinya, dari segi instrumen peyampaian konten, pemain lokal Indonesia juga tampak sedikit. Seperti yang diceritakan sebelumnya, jenis media yang digunakan untuk menyampaikan konten budaya Korea misalnya, ke tangan penonton Indonesia semakin beragam, mulai dari hardware seperti album, merchandise, atau bahkan kosmetik, hingga yang paling fenomenal, tentunya konten di internet. Tak hanya itu, orang Korea yang membuat konten di Indonesia juga memiliki jumlah yang cukup banyak. Orang-orang seperti Jang Han-Sol (Korea Reomit), Han Yu-Ra, dan Hari Jisun adalah antara lain. Internet bahkan dapat disebut sebagai media paling berpengaruh dalam globalisasi, termasuk untuk budaya Korea karena ada begitu banyak sinetron, pertunjukan, dan konten musik Korea memiliki tempat di semua kanal Internet Indonesia, seperti streaming dan video-on-demand. Kemudian, dampak terlalu banyak dari mengkonsumsi konten asing juga sangat beragam. Mulai dari maraknya makanan Korea dan bahkan frasa misalnya, masuk ke kebiasaan mainstream masyarakat Indonesia, terutama di masa pandemi seperti data yang ditunjukkan di atas.
Oleh karena itu, untuk mengatasi dampak Korean Wave kapan saja, harus ada semacam gerakan yang mampu menumbuhkan rasa bangga terhadap produk atau karya produksi lokal di Indonesia secara lebih masif dan aktif. Masyarakat Indonesia, khususnya anak muda, diharapkan mampu menumbuhkan rasa yang kuat untuk memproduksi dan menikmati konten lokal (dan mungkin produk) sebanyak mereka menikmati konten asing (dan produk).
Pemerintah Indonesia juga harus mulai menaruh perhatian pada bagaimana mereka dapat mendukung dan memelihara pembuat konten lokal Indonesia untuk memberikan perbaikan kualitas yang sama dengan konten impor dalam rangka menghadapi persaingan terbuka di era industri kreativitas yang penuh dengan teknologi dan sarana komunikasi dengan tindakan yang lebih membumi dan nyata, seperti menaruh perhatian pada pendidikan seni budaya dan membangun badan promosi nasional yang bergerak secara terarah dan utuh.
*tulisan ini dibantu oleh Natan Harefa dan Kevin Briliandy sebagai pendata
Discussion about this post