ASIATODAY.ID, JAKARTA – Bank Dunia atau World Bank memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2020 akan mengalami kontraksi hingga minus 5,2 persen. Bahkan resesi global akibat pandemi covid-19 ini lebih parah dibandingkan perang dunia II maupun krisis 2009.
“Angka ini mencerminkan resesi global terparah sejak perang dunia II dan hampir tiga kali lebih tajam daripada resesi global 2009,” jelas Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen dalam video conference di Jakarta, Kamis (16/7/2020).
Menurut Kahkonen, pandemi covid-19 tidak hanya berdampak pada negara maju, namun juga menyasar ke hampir seluruh negara di dunia, termasuk negara berkembang. Hal ini menyebabkan perekonomian di negara maju mengalami penurunan tajam.
“Sebagian besar negara harus lockdown untuk bisa mengontrol pandemi, tergantung penatalaksanaan waktu dan tentu ini pengaruhi tingkat PDB di negara tersebut,” jelasnya.
Tekanan ekonomi yang paling parah turut dirasakan oleh negara yang selama ini bergantung pada perdagangan internasional. Tak hanya itu, pembatasan sosial juga berdampak pada aktivitas di sektor pariwisata yang merosot secara tajam.
“Disrupsi ekonomi dirasakan terparah pada negara yang mengalami domestic breakout dan negara yang bergantung pada perdagangan global, pariwisata, ekspor komoditas dan pembiayaan/keuangan eksternal,” paparnya.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menerangkan, kontraksi perekonomian global yang berlanjut akan membuat pemulihan ekonomi dunia menjadi lebih lama dari prakiraan sebelumnya.
Hal ini dipengaruhi oleh kembali meningkatnya penyebaran covid-19 di beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS), Brasil, dan India.
“Dilain pihak, mobilitas pelaku ekonomi yang belum kembali normal sejalan penerapan protokol kesehatan turut menahan aktivitas ekonomi,” terang Perry dalam telekonferensi hasil RDG periode Juli 2020 di Jakarta, Kamis (16/7/2020).
Perkembangan mobilitas pelaku ekonomi yang belum kembali normal menyebabkan efektivitas berbagai stimulus kebijakan yang ditempuh dalam mendorong pemulihan ekonomi di banyak negara maju dan negara berkembang termasuk China, menjadi terbatas.
Sejumlah indikator ekonomi global menunjukkan permintaan yang lebih lemah, ekspektasi pelaku ekonomi yang masih rendah, serta permintaan ekspor yang tertahan sampai Juni 2020.
“Sejalan dengan permintaan global yang lebih lemah tersebut, volume perdagangan dan harga komoditas dunia juga lebih rendah dari perkiraan semula dan menurunkan tekanan inflasi global,” paparnya.
Lambatnya pemulihan ekonomi dunia serta kembali meningkatnya tensi geopolitik AS-China menaikkan ketidakpastian pasar keuangan global.
“Perkembangan ini akhirnya menahan berlanjutnya aliran modal ke negara berkembang dan kembali menekan nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia,” jelas Perry.
Ekonomi Indonesia Bisa Tumbuh 4,8 Persen
Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 4,8 persen pada 2021. Bahkan ekonomi Indonesia dapat kembali ke level enam persen di 2022 meski tahun ini diprediksi tidak tumbuh alias nol persen.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen menjelaskan dampak pandemi sangat memengaruhi pendapatan masyarakat dalam jumlah signifikan. Tanpa perluasan program bantuan sosial, sebanyak 5,5 juta rakyat Indonesia dapat masuk ke dalam garis kemiskinan.
“Kami menyambut baik tindakan masif dari pemerintah Indonesia untuk memitigasi dampak dari krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Adalah penting untuk secara efektif menerapkan paket tersebut agar dampaknya dapat dirasakan secara penuh oleh masyarakat maupun perekonomian,” jelasnya.
Ia memandang, paket kebijakan fiskal pemerintah Indonesia yang mencapai 4,3 persen dari PDB dapat memitigasi dampak pandemi yang lebih besar terhadap kemiskinan.
Paket ini meliputi dana untuk meningkatkan kesiapan sektor kesehatan dan peningkatan secara substansial untuk program bantuan sosial.
Di samping itu, pemerintah diharapkan melanjutkan berbagai program reformasi kebijakan yang selama ini sudah dijalankan demi memperbaiki pondasi perekonomian nasional.
“Kami juga merasa terdorong dengan kegigihan Pemerintah Indonesia menggunakan krisis ini sebagai peluang dengan mempercepat berbagai reformasi penting untuk meningkatkan daya saing, yang akan menjadi dasar kuat bagi pemulihan yang lebih mantap,” jelasnya.
Adapun strategi lain yang dapat mendukung Indonesia bangkit dari krisis, yakni memperluas cakupan program perlindungan sosial, mengatasi kesenjangan yang baru teridentifikasi pada sistem, serta mempercepat penerapan perawatan kesehatan universal untuk semua warga negara.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander menambahkan keputusan pemerintah untuk mengubah prioritas belanja negara dan meningkatkan defisit anggaran memang sangat dibutuhkan untuk meredam dampak pandemi. Namun begitu, pemerintah harus melakukan reformasi perpajakan agar terhindar dari melonjaknya utang di kemudian hari.
“Ke depannya, pembelanjaan dalam jumlah lebih besar pada sektor kesehatan, perlindungan sosial, dan infrastruktur akan tetap dibutuhkan, yang menjadi dasar mengapa reformasi perpajakan untuk meningkatkan pendapatan fiskal negara sangatlah penting untuk melandaikan kurva utang dan mempertahankan kerangka makroekonomi Indonesia yang kuat,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post