ASIATODAY.ID, JAKARTA – Peristiwa meletusnya Gunung Anak Krakatu di perairan Selat Sunda pada Jumat (10/4/2020) malam, membangkitkan kembali ingatan masyarakat Indonesia pada peristiwa meletusnya Gunung Krakatau pada 1883.
Dalam sejarahnya, Gunung Anak Krakatau muncul setelah Gunung Krakatau meletus. Erupsi dahsyat itu terjadi pada 1883.
Dahsyatnya letusan itu, membuat kawasan Eropa bahkam sampai gelap karena tertutup abu vulkanik dari gunung ini. Dampak dari letusan ini, setidaknya tercatat 36.417 orang meninggal dunia akibat letusan dan tsunami.
Letusan Krakatau terjadi 26 Agustus 1883 (gejala muncul awal Mei). Puncak letusan hebat meruntuhkan kaldera. Sehari kemudian atau 27 Agustus, dua pertiga bagian Krakatau runtuh dalam sebuah letusan berantai dan melenyapkan sebagian besar pulau di sekelilingnya.
Pada 1927 muncul gunung api di permukaan laut dikenal dengan Gunung Anak Krakatau. Gunung kecil itu terus-menerus meletus untuk tumbuh. Rata-rata setiap tahun bertambah tinggi 4-6 meter.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pernah menyatakan, letusan pada 1883 akan sulit terulang kembali. Letusan-letusan yang terjadi hampir setiap hari dari Gunung Anak Krakatau sekarang ini merupakan fenomena biasa. Seperti halnya anak dalam fase pertumbuhan, Gunung Anak Krakatau juga meletus untuk membesar dan meninggikan tubuhnya.
Kini, Gunung anak Kratatau itu kembali meletus. Erupsi disertai lontaran abu berwarna kelabu hingga setinggi ratusan meter.
Data Magma Indonesia, erupsi pertama tercatat pada pukul 21.WIB dengan tinggi kolom abu kurang lebih 200 meter di atas puncak atau 357 m di atas permukaan laut.
Anak Krakatau kembali erupsi pada pukul pukul 22.35 WIB dengan lontaran kolom abu yang teramati kurang lebih 500 m di atas puncak atau 657 m di atas permukaan laut.
“Kolom abu teramati berwarna kelabu dengan intensitas sedang hingga tebal ke arah utara. Erupsi ini terekam di seismograf dengan amplitudo maksimum 40 mm dan durasi 2284 detik,” demikian keterangan resmi Magma Indonesia, Jumat (10/4/2020) malam.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menyatakan, tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau pada Level II (Waspada). Status ini sejak 25 Maret 2019.
Gunungapi berapi ini mengalami peningkatan aktivitas vulkanik sejak 18 Juni 2018 dan diikuti rangkaian erupsi pada periode September 2018 hingga Februari 2019.
Letusan terakhir sebelumnya terjadi pada 18 Maret 2020 dengan tinggi kolom erupsi 300 meter di atas puncak. PVMBG meminta masyarakat/wisatawan tidak mendekati kawah dalam radius 2 km dari kawah.
Pada Juli 2018, Gunung Anak Krakatau juga menunjukkan peningkatan akvitas vulkanik. Data Vulcano Activity Report (VAR), Sabtu (14/7/2018), Gunung Anak Krakatau meletus sebanyak 398 kali dengan amplitudo 24-58 mm dan durasi antara 20-279 detik.
Sementara gempa tremor terjadi terus-menerus antara 2-45 mm dengan amplitudo dominan 20 mm dan tinggi letusan maksimum mencapai 800 meter.
PVMBG mencatat pada Minggu (15/7/2018), pukul 12-18.00 WIB, Gunung Anak Krakatau meletus sebanyak 81 kali. Asap kawah bertekanan sedang dengan intensitas sedang berwarna hitam setinggi 500-700 meter keluar dari puncak kawah. Pemantauan aktivitas Gunung Krakatau terus dilakukan di Pasauran, Kabupaten Serang, Banten. (ATN)
Discussion about this post