ASIATODAY.ID, JAKARTA – Ekonom Senior Indonesia, Faisal Basri mengkritisi hilirisasi nikel di Indonesia.
Pasalnya, hilirisasi nikel di Indonesia saat ini hanya untuk mendukung industrialisasi di China.
“Kita mendukung sepenuhnya industrialisasi, tetapi menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang,” jelas Faisal Basri dalam keterangan tertulis yang diunggah di faisalbasri.com bertajuk ‘Menjawab Sanggahan Presiden Jokowi tentang Hilirisasi Nikel’ yang dikutip Senin (14/8/2023).
Menurut Faisal, hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional.
“Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia,” jelasnya.
Kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21.1 persen tahun 2014 menjadi hanya 18,3 persen tahun 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir.
Keberadaan smelter nikel juga tidak memperdalam struktur industri nasional. Jangan membayangkan produk smelter dalam bentuk besi dan baja yang langsung bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun. Ada memang, tetapi jumlahnya sangat sedikit.
Produk besi dan baja (HS 72) yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis .
“Yang dikatakan oleh Presiden adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72,” jelasnya.
Hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel mate. Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke China.
Di China, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia. Dalam porsi yang jauh lebih rendah adalah semi-finished products.
“Sejauh ini tak satu pun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi batere untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari China,” urainya.
Tak ada yang meragukan bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. Siapa yang menikmati nilai tambah tinggi itu?
“Tentu saja pihak China yang menikmatinya. Nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen,” paparnya.
Faisal pun menguraikan hitung-hitungannya.
Nilai tambah smelter = produk smelter – bijih nikel.
Nilai tambah dinikmati pengusaha berupa laba, pemodal dalam bentuk bunga, pekerja dalam bentuk upah, pemilik lahan dalam bentuk sewa.
Hampir semua smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air.
Hampir seratus persen modal berasal dari perbankan China, maka pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China. Banyak di antara mereka yang bukan tenaga ahli, di antaranya juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir. Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Akibatnya muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar 100 dolar AS per pekerja per bulan.
Banyak tenaga kerja China di smelter. Salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp17 juta hingga Rp54 juta. Sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. Dengan memegang status visa kunjungan, sangat boleh jadi pekerja-pekerja China tidak membayar pajak penghasilan.
Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan namun nilainya amatlah kecil.
“Jadi nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan China,” paparnya.
Nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter China semakin besar karena mereka membeli bijih nikel dengan harga super murah. Pemerintah sangat bermurah hati menetapkan harga bijih nikel jauh lebih rendah dari harga internasional.
Berdasarkan harga rerata bulan April 2021, penerimaan yang dinikmati oleh perusahaan tambang bijih nikel jauh lebih rendah dari harga patokan yang ditetapkan pemerintah atau HMP (harga patokan mineral) yang sudah relatif sangat rendah itu.
Betapa istimewa posisi perusahaan smelter China tercermin dari fakta berikut.
“Angka-angka yang disampaikan Presiden Jokowi tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China,” jelasnya.
Jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11,865 per US$.
Lalu, dari mana angka Rp510 triliun?
Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US$27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per US$, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun.
“Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden Jokowi dan hitung-hitungan saya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis,” urainya.
Namun, apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
Berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit, untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar.
Jika keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Jadi, nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel.
Perusahan-perusahaan smelter China menikmati “karpet merah” karena dianugerahi status proyek strategis nasional. Kementerian Keuanganlah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada BKPM.
Apakah perusahaan smelter China tidak membayar royalti? Tidak sama sekali. Yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.
“Bapak Presiden, maaf kalau saya katakan bahwa Bapak berulang kali menyampaikan fakta yang menyesatkan,” imbuhnya.
Konstribusi Hilirisasi Nikel di Indonesia
Sebelumnya, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) menekankan bahwa hilirisasi industri menjadi salah satu langkah penting bagi Indonesia untuk menjadi negara maju pada tahun 2045.
Hal tersebut disampaikan Presiden Jokowi pada Pengukuhan Pengurus Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) masa bakti tahun 2023-2028, Senin (31/07/2023), di Grand Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta.
“Kalau itu bisa kita lakukan, kemudian hilirisasi ini berhasil untuk semua mineral, perkebunan, pertanian, perikanan, semuanya bisa dihilirisasi. Kalau hitung-hitungannya World Bank, McKinsey, IMF, OECD, itu di 2040 sampai 2045, saya yakin ini bisa agak maju,” katanya.
Menurut Presiden Jokowi, hilirisasi telah menciptakan sejumlah dampak positif bagi perekonomian Indonesia, di antaranya membuka kesempatan kerja secara signifikan.
“Di Sulawesi Tengah (Sulteng), sebelum hilirisasi, hanya 1.800 tenaga kerja yang terangkut di dalam pengolahan nikel. Setelah hilirisasi, menjadi 71.500 tenaga kerja yang bisa bekerja karena adanya hilirisasi nikel di Sulteng,” ujar Presiden Jokowi.
Selain itu, hilirisasi juga memberikan kontribusi besar pada pendapatan negara. Pada tahun 2014 sampai 2015, menurut Presiden Jokowi, pemerintah menghasilkan kurang lebih Rp31 triliun dari ekspor bahan mentah.
“Setelah hilirisasi, menjadi Rp510 triliun. Kembali lagi, dari US$2,1 billion melompat menjadi US$33,8 billion. Jadi, melompatnya berapa kali? Ini baru beberapa turunan saja,” lanjutnya.
Selain itu, Presiden Jokowi menuturkan bahwa hilirisasi juga memberikan dampak positif pada pertumbuhan ekonomi daerah. Hal tersebut kemudian akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara nasional.
“Di Maluku Utara [pertumbuhan ekonomi daerah] sebelumnya rata-rata 5,7 persen, setelah hilirisasi 23 persen. Kalau semua provinsi growth-nya seperti itu, Bapak-Ibu bisa bayangkan agregat dari semuanya menjadi pertumbuhan ekonomi nasional kita akan berapa,” tambahnya.
Lebih lanjut, Presiden Jokowi menegaskan bahwa program hilirisasi ini tidak berhenti hanya pada industri mineral saja, tetapi juga pada sektor lainnya. Untuk itu, Presiden mengajak para pengusaha untuk turut mendukung program hilirisasi tersebut.
“Kita harus mulai, Apindo harus mulai berpikir ke sana. Semua produk yang masih dikirim mentahan harus mulai [dikirim barang setengah jadi atau barang jadi]. Bank juga harus berpikir mau membiayai hilirisasi di bidang-bidang yang tadi saya sebutkan,” tandasnya.
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post