ASIATODAY.ID, JAKARTA – Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyebutkan, tertekannya harga acuan batu bara akibat pandemi coronavirus (Covid-19) menimbulkan persoalan serius terhadap kinerja keuangan enam dari 11 produsen batu bara Indonesia.
IEEFA dalam laporan terbarunya yang bertajuk Can the Indonesian Coal Industry Survive Covid-19, mengulas masalah profit kas per ton, biaya batu bara, pengendalian biaya operasional di tengah kondisi pandemi, serta risiko yang akan berdampak pada kemampuan perusahaan membayar royalti batu bara kepada pemerintah di saat harga acuan batu bara rata-rata berada pada USD58 per ton.
Menurut penulis Laporan dan Analis Keuangan IEEFA, Ghee Peh, harga acuan batu bara Newcastle telah merosot dari harga USD70 per ton pada Januari ke USD58 per ton merupakan pukulan berat bagi pelaku industri di Indonesia.
Dua tahun terakhir merupakan tahun yang baik bagi produsen batu bara Indonesia karena harga acuan batu bara mengalami peningkatan yang tetap. Namun, penurunan sepanjang 2020 ini terjadi dengan tiba-tiba dan tidak ada proyeksi akan harga terendah (floor price) atau suatu kerangka waktu untuk pemulihan.
“Kejatuhan yang tiba-tiba ini berarti bahwa para manajer tidak sempat memiliki waktu dan tidak berada pada posisi untuk melakukan upaya pengurangan biaya. Karena kejatuhan harga batu bara ini sama sekali tidak diperkirakan sebelumnya. Bahkan, sampai akhir Februari 2020 masih belum diperkirakan oleh para pelaku industri,” jelasnya melalui siaran pers, Senin (11/5/2020).
IEEFA menganalisis 11 perusahaan menggunakan lima metrik kunci dan menemukan bahwa Bumi Resources, ABM Investama dan Geo Energy Resources membutuhkan harga acuan batu bara di kisaran USD60 per ton hingga USD62 per ton agar dapat mempertahankan aliran kas yang mencapai titik impas.
“Saat ini, harga acuan batu bara telah merosot bahkan menjadi lebih rendah dari USD60 per ton. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana caranya perusahaan dengan biaya tinggi dapat memperoleh modal kerja untuk membiayai operasi mereka,” urai Ghee.
Dilain pihak, perusahaan batu bara memiliki kewajiban untuk membayar royalti pada pemerintah Indonesia sebesar 13.5 persen dari nilai penjualan batu bara. Dengan memperhitungkan kewajiban royalti, maka 6 dari 11 perusahaan yang dikaji mengalami aliran kas yang negatif.
Mengingat bahwa saat ini harga acuan batubara berkisar pada rata-rata USD58 per ton pada tahun 2020, Ghee memperkirakan perusahaan-perusahaan ini akan mengalami masalah yang cukup serius ketika dihadapkan pada kewajiban membayar royalti.
“Dengan ini, ada kemungkinan bahwa perusahaan yang terdampak akan mengajukan permohonan untuk moratorium royalti,” jelasnya.
Ghee memandang, jika moratorium harus diberlakukan, maka perlu dipertanyakan apakah akan diberikan kepada semua perusahaan atau hanya perusahaan dengan aliran kas negatif per ton batu bara yang terjual.
“Jika memang moratorium royalti diberlakukan kepada seluruh sektor, maka hal ini berpotensi mengurangi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sampai dengan sebesar USD1,26 miliar,” papar Ghee.
Sebelumnya, Harga Batubara Acuan (HBA) kembali merosot pada Mei 2020 ke angka USD61,11 per ton akibat dipengaruhi sentimen negatif perlambatan perekonomian global yang terdampak virus corona.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan melambatnya perekonomian global akibat pandemi virus corona berdampak pada turunnya permintaan batu bara dari negara-negara konsumen utama batu bara di kawasan Asia, antara lain China, Korea Selatan, India dan Jepang.
“Ekonomi global yang melambat menyebabkan HBA bulan Mei kembali turun dari bulan sebelumnya. Turun USD4,66 menjadi US$61,11 per ton. Bulan April angkanya di USD65,77 per ton,” ujarnya, Rabu (6/5/2020).
Penurunan harga batu bara sudah terjadi selama dua bulan terakhir. Sejak bulan Januari 2020, HBA mengalami fluktuasi. HBA Januari mencatatkan angka di USD65,93 per ton, turun dari USD66,30 per ton di Desember 2019.
Kemudian naik di Februari USD66,89 per ton dan Maret sebesar USD67,08 per ton. Lalu HBA kembali mengalami penurunan di bulan lalu yang mencapai USD65,77 per ton.
“Trennya untuk dua bulan terakhir ini kembali turun,” ucapnya. (ATN)
Discussion about this post